Tuesday 12 March 2013

Amarah Sang "Datuk" di Gunung Leuser



Oleh Juwita Trisna Rahayu
        Ari terbirit. Dia dan empat kawannya seketika mengambil langkah seribu saat si empunya gading dan belalai itu menggertak. Mudah saja bagi satwa yang bisa mencapai bobot lima ton itu untuk menghantam Ari dan kawannya. Namun, kata Ari, bukan itu tujuannya.
        "Dia hanya ingin menunjukkan siapa yang punya "power" (kekuatan) lebih dan ketika lawannya lari, dia tahu kami ini lemah, lalu dia kembali makan. "Datuk", hanya tidak mau diganggu," katanya.
        Warga Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sejak dahulu memanggil hewan yang bernama latin Elephas maximus sumatranus itu dengan sebutan Datuk.
        Ahmad Azhari atau akrab disapa Ari, Koordinator Tim Restorasi Yayasan Orangutan Sumatra Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC), menjelaskan sebutan tersebut ditujukan untuk menghormati seseorang atau siapapun yang mempunyai kekuatan besar.
        Tidak satu kali itu saja Sang Datuk melampiaskan amarahnya. Ari bercerita pada 2007 saat restorasi lahan kritis TNGL menapaki langkah awal, gajah-gajah tersebut mengamuk, menumbangkan 380 pohon kelapa sawit hanya dalam satu malam lantaran tersengat aliran listrik yang dipasang oleh petugas TNGL setempat.
        "Bukan mereka makan, tapi hanya dibabat habis karena mereka betul-betul marah," ujarnya.
        Selain itu, kabel listrik yang menghantarkan sengatan ke tubuh gajah itu pun tidak luput dari perhatiannya. gajah-gajah itu membelitkan kabel-kabel itu ke beberapa pohon sawit untuk ditumbangkan dalam sekali aksi.
        Tidak hanya pohon kelapa sawit yang menjadi korban kemarahan gajah-gajah tersebut karena ulah manusia, dapur posko pembibitan tanaman untuk konservasi lahan pun pernah porak-poranda akibat amukan gajah-gajah tersebut.
        "Dapur kita hilang bambunya dipulas sampai retak," katanya.
        Kejadian tersebut terus berulang hingga pada saatnya gajah-gajah itu mengerti bahwa mereka hidup berdampingan dengan manusia.
        Mereka menyadari ini merupakan kawasan manusia dan Ari menilai dia dan rekan tim konservasi tidak merusak habitat tersebut justru ingin mengembalikannya.
        Akhirnya, gajah-gajah tersebut tidak lagi mengganggu karena memang sifat alaminya yang menghindari konflik dengan manusia, kata Ari.

   Satwa Pintar
   Amarah yang dilontarkan satwa bertelinga besar itu merupakan bentuk protes dari insting mereka akan hal-hal yang disuka dan tidak, apalagi sampai mengancam habitatnya.
        Ari mengaku sudah bertahun-tahun bergelut dengan gajah dan menilai mereka adalah satwa yang pintar.
        Pertengahan 2007, beberapa personel Brimob berusaha mengusir gajah dengan melepaskan tembakan ke udara. Awalnya efektif, gajah-gajah itu berlari menjauh dari sumber suara tembakan. Namun ternyata tidak cukup mengelabuinya untuk kedua apalagi ketiga kalinya.
        "Mendengar suara senapan, datuk pada lari ketakutan tapi lama-kelamaan, dia mungkin berpikir 'ah suaranya saja yang besar, tapi gak ada apa-apanya', jadi dia tetap santai makan di situ," ujarnya.
        Ari juga mengatakan jika gajah tersebut justru "sangat baik" terhadap masyarakat sekitar.
        Beberapa bulan yang lalu, dia menceritakan, warga sekitar menanam pohon pepaya yang tidak jauh dari pekarangan belakang rumah. Gajah-gajah tersebut ingin memakan batangnya, tetapi dia memetik buahnya terlebih dahulu, dia tutupi dengan daunnya untuk warga. Baru setelah itu, batangnya dia bawa ke hutan.
        Ari juga menunjukkan tanaman ficus yang pelepahnya merupakan makanan favorit sang datuk.
        "Kalau lima batang seperti ini, dia hanya ambil tiga dan menyisakan dua untuk makan berikutnya," ujarnya.
        Sang datuk tidak akan mengganggu, jika manusia tidak berbuat ulah, katanya.
        Ari pernah terjebak di antara koloni gajah yang melintas usai berkubang menuju hutan primer.
        "Kami waktu itu sedang berkereta (menggunakan sepeda motor) dengan kawan menuju posko, dan tiba-tiba tepat di depan kami ada sekitar empat gajah yang melintas. Kami diam dan menunggu mereka lewat dan buktinya mereka tidak menyerang," katanya.
        Gajah-gajah tersebut akan belajar dari apa yang dia alami, sehingga menuntut Ari dan warga sekitar mencari metode baru untuk menghalau gajah jika keberadaaan warga terancam, terang Ari.

   Mengedukasi Warga
   Seiring berjalannya waktu, konflik-konflik dengan gajah sudah berkurang bahkan sudah tidak pernah terjadi lagi, kata Ari.
        Keberadaan gajah saat ini jumlahnya terus meningkat, dari empat terus bertambah menjadi 15 dan saat ini mencapai 32 ekor. Jumlah tersebut belum termasuk koloni yang sering datang berempat atau bertujuh.
        Masyarakat saat ini sudah menerima keberadaan mereka dan mencoba untuk tidak mencari ribut dengan datuk.
        Menurut Ari, bukan gajah yang mengganggu warga sekitar, justru warga yang jelas-jelas menjamah habitat mereka.
        "Kawasan ini rumah mereka, kemudian kita datang dan mengganggu ya wajar kalau dia marah. Logikanya begini, ini jalan yang biasanya mereka pakai untuk lewat kemudian kita bangun rumah di situ, tidak heran jika dihancurkan," katanya.
        Dia dan tim restorasi pun mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada warga untuk meluruskan pandangan-pandangan yang selama ini keliru.
        "Saya bilang, mereka itu binatang pintar. Yang penting kita tahu posisi kita dan jangan pernah mengganggu karena datuk akan selalu mengingat seumur hidupnya jika kita berbuat salah," katanya.
        Jika musim gajah datang, yakni sekitar Juni, warga sekarang ini bekerja sama bergantian menjaga posko.
       Dia juga mengatakan hingga saat ini belum pernah ditemukan kasus  gajah mati di sekitar kawasan TNGL.
       "Mudah saja bagi datuk untuk menghancurkan kita karena kami kecil dibandingkan dengan mereka. Jadi jangan berbuat ulah," katanya
   Apa yang dilakukan Ari dan tim restorasi merupakan bagian dari upaya mengembalikan hutan ke fungsi aslinya, seperti restorasi hutan, mitigasi konflik, sosial kapital, pendidikan dan penyadaran masyarakat, dan ekonomi lokal.
        Direktur YOSL-OIC Panut Hadisiswoyo upaya tersebut merupakan implementasi dari mitigasi konflik dengan satwa di kawasan TNGL.
        "Awalnya warga pakai meriam karbit untuk mengusir gajah, tapi dia semakin resisten. Karena itu, kami mencari cara-cara yang solutif," katanya.
        Hingga saat ini pihaknya telah menanam sebanyak 125 ribu bibit yang sudah ditanam untuk menutupi lahan ilalang agar tercipta kembali habitat bukan hanya untuk gajah, tetapi juga orangutan, harimau, babi hutan, landak, berbagai jenis burung dan satwa lainnya.
       Selain itu, pihaknya juga telah menghasilkan sebanyak 600 kilogram kompos yang diolah dari kotoran gajah selama Oktober hingga Desember 2012 sebagai bagian dari program restorasi koridor konektivitas dan lahan terdegradasi di Kawasan Ekonomi Leuser (KEL) Blok Karo-Langkat seluas 150 hektar.
       Panut menargetkan sekitar 165 ribu bibit lagi untuk menyelamatkan kawasan tersebut.
       YOSL-OIC juga bekerja sama dengan Tropical Forest Conservation Action (TFCA) terkait pendanaan program-program tersebut.
       Namun, pihaknya mengakui belum adanya bantuan langsung dari pemerintah untuk program restorasi lahan kritis tersebut, bahkan lebih banyak dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, seperti dari Inggris, Australia dan Amerika Serikat.
       Keberlangsungan ekosistem merupakan tanggung jawab kita bersama. Alam memberikan kehidupan bagi manusia. Tetapi apa yang telah manusia berikan untuk alam? Amarah sang datuk hanya salah satu tanda dari alam untuk menyadarkan manusia betapa digdayanya alam. Jangan tunggu hingga alam murka baru percaya.
    ***4***

dikutip juga di laman ini
http://eksposnews.com/view/11/50081/Jangan-Ganggu-Datuk-Leuser.html#.UT7x0666SSo
tapi judulnya diganti


0 comments:

Post a Comment