Saya baru sadar banyak hal yang saya lewatkan akhir-akhir ini. Semuanya berawal dari “ah nanti saja”. Menunda-nunda karena berpikir kita mempunyai banyak waktu adalah awal dari kegagalan. Contoh kecil, saya menunda-nunda untuk mencuci motor sejak motor itu dikirimkan, alhasil setelah saya bawa motor itu ke tempat pencucian, tampilan si cantik tidak seperti dulu lagi karena ada noda-noda yang tidak bisa dibersihkan lantaran terlalu lama dibiarkan.
"Enggak bisa ilang ya, Bang?"
"Enggak mbak, soalnya ini udah berembun karena kelamaan didiemin,"
Dan ternyata, setelah dicuci luka gores di motor itu mulai terlihat, semakin menyesali diri saya sendiri karena abai dengan kendaran andalan saya ketika liputan.
Kemudian, saya pergi ke tempat servis resmi karena baru sekali saya menservisnya. Saya masih punya tiga lembar garansi untuk servis motor. Tapi, menurut pemilik tempat servis, garansi itu tidak berlaku lagi karena sudah terlalu lama dari tanggal yang seharusnya.
Sebetulnya mungkin bisa dengan menggunakan lembar paling terakhir, artinya saya melewatkan dua kesempatan servis gratis yang biayanya pun lumayan untuk makan anak kost.
Saya makin kesal dengan diri saya sendiri. Konsentrasi mengendarai motor pun buyar. Ya sudah lah.
Mulai rela memafkan diri sendiri, saya dibuat kesal lagi semalam. Saya telat mengirimkan artikel untuk lomba yang saya tunggu-tunggu. Bahan, riset, hasil wawancara dari berbagai narasumber sudah dikumpulkan sejak jauh-jauh hari. Topiknya pun, saya banget! Tapi, semuanya seperti menguap dengan cepat dan merasa percuma.
Salah lihat tanggal pengumpulan terakhir bukan merupakan kesalahan utama saya. Mentraskrip yang dientar-entar, membuat kerangka yang dientar-entar, semuanya yang dientar-entar ini memicu saya untuk enggak “ngeh” lagi dengan lomba. Sampai pada akhirnya semuanya sudah lewat, rasa sesal begitu menyakitkan.
Kesempatan tidak datang dua kali memang betul adanya. Ada pun kesempatan kedua tetapi tidak akan segemilang kesempatan pertama. Semuanya berbeda.
Saya marah sekali dengan diri saya karena saya bukan seperti ini, menunda-nunda. Biasanya saya begitu sigap untuk hal-hal yang saya suka, entah mungkin sedang lelah.
Nasi sudah menjadi bubur, sekarang bagaimana membuat bubur itu supaya enak. Itu adalah kata-kata guru Bahasa Inggris waktu SMP yang membuat saya lumayan tenang.
Saya enggak boleh begini lagi. Janji.
NP: Thanks Jirapah for always calming me, even if I know you cannot stand to laugh at me when I cry.