Kemeja hitam
itu terasa berbeda. Mungkin karena memang tujuannya jelas, tidak semata- mata ditarik
keluar dari lemari dan dikenakan. Sabtu pagi itu pun berbeda. Padahal gradasi
memudar warna langit yang seakan membelah kubah megah Istiqlal itu sangat rapi.
Saya akui udara Jakarta pagi itu pun terasa sejuk, jalanan lengan, matahari
tomat merah pun sedang berbaik hati menyemburkan sinarnya. Ah kalian tidak
kompak! Tidak seharusnya saya menyalahkan alam tentang hati saya yang sedang
kelabu.
Beberapa
menit sekali saya meminum air putih yang dari botol oranye itu. Habis, saya tidak
tahu lagi harus berbuat apa di dalam bis yang akan membawa saya ke rumah penuh
kenangan. Rumah yang tidak pernah absen dari karangan bebas tugas bahasa
Indonesia usai liburan sekolah bagi kebanyakan siswa sekolah dasar.
Sesekali
bulatan air mata ini jatuh, rupanya kantung ini sudah tidak tahan menahannya.
Sekuat mungkin saya menengadah agar penumpang di sebelah saya tidak menanyakan
apa- apa. Memang, saya sedang enggan berbicara dengan siapapun.
Mengalihkan
perasaan dengan mendengarkan musik juga bukan ide yang bagus. Saya malah larut.
Ingin segera sampai, namun tak sanggup. Kacau! Laju bus yang semakin cepat
mendekatkan jarak saya dan rumah itu. Bendera kuning. Tak kuasa.
Tangis pun
pecah ketika kedatangan saya disambut pelukan ibu. Paman, kakak, ikut merangkul
saya. Air mata menyatu. Saya dituntun ke dalam. Gemetar itu masih saya rasakan.
Saya mendekat ke sosok yang begitu saya kenal, begitu dekat, begitu akrab.
Paman yang sedang duduk mengaji di dekat wajah itu menarik saya ke dalam
pelukannya. Tumpah.
Saya
menyentuhnya, menciumnya. Mengapa begitu dingin, mengapa begitu kaku, mengapa
diam saja? Cucumu datang, nek. Ditariknya saya dari tubuh nenek, disuruh
mengapus air mata ini. Tidak saya gubris semua itu sampai kemudian Ibu pelan-
pelan membisiki saya untuk menyadari kalau nenek sudah tenang di alam sana,
jangan jadikan air mata ini pemberat untuk jalan menuju Sang Khalik.
Rambutmu masih
panjang dan lebat ketika ku basuh dengan air dan mencucinya hingga bersih,
wajahmu masih terlihat segar. Bibirmu masih terlihat remaja ketika lipstik ini
ku bubuhkan. Nenek cantik. Terlalu cepat untuk tiada. Saya lancang! Tidak
seharusnya saya membicarakan keputusan Tuhan.
Teringat nenek selalu meminta saya untuk memasukan benang ke dalam jarum karena penglihatannya yang sudah tidak setajam dulu. Beliau memang gemar menjahit. Nasi goreng dan sambel terasi buatannya yang sangat khas. Maaf nek, saya suka protes kalau bulatan nastar nenek tidak berbentuk ketika kami membuat kue bersama menjelang idul fitri.
Ketika
adzan berkumandang, ketika doa dipanjatkan, ketika jasadmu bersatu dengan
tanah, ketika itu saya tersadar bahwa semua orang akan mengalaminya, waktu yang berbeda. Nisan ditancapkan, bunga ditabur, doa terus dipanjatkan.
Satu
persatu pelayat pergi meninggalkan tanah merah itu. Tanah yang mengingatkan
bahwa disitulah kita akan abadi. Kami duduk sejenak, terus memanjatkan doa. Selesai.
Rintik hujan mulai terasa di kulit ini, kami harus segera pulang. Melanjutkan
kehidupan.
P.S: tadinya saya mau memasang foto nenek disini, tapi sepertinya nenek tidak berkenan. :)