Oleh Juwita Trisna Rahayu
Geligi
gergaji mesin itu seperti tidak sabar ingin menggerogoti batang kelapa sawit
yang kokoh dan penuh air. Mesin dinyalakan, olinya menetes seperti liur. Ujung
lidah gergaji itu mulai menyentuh serabut hitam yang menutupi batang yang
sedikit demi sedikit termakan.
Dan
"hap" kelapa sawit itu tumbang, batangnya menghantam keras ke tanah.
Kelapa sawit tumbang, tumbuh ilalang. Namun, hamparan hijau muda itu tak seluas
dahulu. Wilayahnya lama-kelamaan tergeser oleh
"helikopter-helikopter" yang baru saja menumbuhkan
"baling-balingnya".
"Ini
kami sendiri yang menamai karena belum teridentifikasi namanya. Lihat, daunnya
seperti susunan baling-baling helikopter," kata Ahmad Azhari, Koordinator
Tim Restorasi Yayasan Orangutan Sumatra Lestari-Orangutan Information Center
(YOSL-OIC) sembari menunjukkan tanaman penyelamat hutan gundul tersebut.
Jika
tertiup angin, daun-daunnya bergerak persis seperti putaran helikopter, tambah
pria yang lebih dikenal dengan sebutan Ari itu.
Jumlah
helikopter kini telah mencapai 1123 bibit, 642 bibit pada tahap pembibitan satu
dan 481 pada tahap pembibitan dua.
"Yang
sudah tertanaman di hutan (kawasan restorasi) sudah ribuan dan jumlahnya
bertambah karena dibantu burung-burung yang menyebarkan benihnya," kata
dia.
Bukan hanya helikopter, rambutan (Nephelium lappaceum), pulai (Alistonia scholaris), jeluak (Mallotus barbatus), turi-turi (Sesbania grandiflora), sempuyung (Hybiscus macrophllus) bahkan durian (Durio spp.) telah menggantikan posisi kelapa sawit dan ilalang di kawasan restorasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Bukan hanya helikopter, rambutan (Nephelium lappaceum), pulai (Alistonia scholaris), jeluak (Mallotus barbatus), turi-turi (Sesbania grandiflora), sempuyung (Hybiscus macrophllus) bahkan durian (Durio spp.) telah menggantikan posisi kelapa sawit dan ilalang di kawasan restorasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Hingga
kini sudah 125 ribu bibit pohon dihasilkan. Berdasarkan data dari YOSL-OIC,
jumlah produksi bibit hingga Desember 2012 mencapai 90.720 bibit dari 41
spesies.
Masih
ada 165 ribu bibit lagi yang harus ditumbuhkan hingga tiga tahun ke depan untuk
menutupi 100 hektar lagi lahan gundul kawasan tersebut, katanya.
Mengapa
harus menebang kelapa sawit? "Kelapa sawit tidak boleh ditanam di kawasan
restorasi," jawab Ari singkat.
Lelaki
itu menjelaskan sawit-sawit tersebut merupakan bentuk dari perambahan kawasan
restorasi TNGL yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Cegah Banjir, Tampung Air
Jika kawasan terus dirambah dengan menanam kelapa sawit, tanahnya akan semakin sulit menyerap air karena sifat akar kelapa sawit yang sulit mengikat air, sehingga rentan terjadi longsor dan banjir.
Ari
menjelaskan sebelum ditanami bibit-bibit tanaman konservasi tersebut, kawasan
hutan TNGL kerapkali dilanda banjir.
Banjir
tersebut mengakibatkan tanaman yang tidak resisten ikut terbawa arus.
Namun,
menurut dia, banjir tidak selalu berdampak negatif. Lumpur pascabanjir ternyata
baik untuk menyuburkan tanaman.
Selain
itu, dia menjelaskan batang kelapa sawit besar sangat menguras cadangan air
tanah yang seharusnya dipakai warga untuk kebutuhan sehari-hari.
Warga
sampai membeli air seharga Rp600 ribu untuk dua drum atau sebanyak 150 liter.
"Ini
aneh, kawasan hutan hujan tropis tapi krisis air," ujar Ari.
Namun,
seiring dengan kian banyaknya bibit-bibit helikopter dan kawan-kawannya tumbuh
bahkan meninggi, banjir tidak lagi ditemukan di kawsan tersebut. Warga pun bisa
mengambil air tanah, sehingga beban ekonomi mereka pun berkurang.
Sementara
itu, menurut Direktur YOSL-OIC Panut Hadisiswoyo penebangan kelapa sawit buka
aksi yang ilegal.
"Justru
kita menebang kelapa sawit yang penanamannya ilegal karena merambah lahan
konservasi TNGL. Bahkan batasnya jelas," terang Panut.
Pihaknya
juga telah berupaya meluruskan pandangan masyarakat akan perambahan tersebut.
"Kami
harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa sawit ilegal harus ditebang. Kami
juga menyerahkan penebangan ke pihak TNGL dan masyarakat ikut menyaksikan dalam
proses penebangan tersebut.
Dia
tidak menampik awalnya warga terpukul dengan penebangan kelapa sawit tersebut,
namun seiring berjalannya waktu, warga dapat mengikhlaskan kelapa sawit
tersebut yang mencapai 500 hektar.
Jika
dihitung, kerugiannya mencapai satu juta dolar AS per tahun.
Namun,
menurut Panut, dampak ekologis dan dampak-dampak lainnya yang akan ditaggung
masyarakat jauh lebih dari jumlah nominal tersebut.
Mengurangi Utang Negara
Dalam satu tahap penebangan, Panut mengatakan pihaknya bisa menghabiskan jutaan rupiah karena tiap satu batang kelapa sawit yang ditebang dihargai Rp15 ribu, belum termasuk upah dan biaya operasional penebang.
"Karena,
mereka (penebang) harus menginap di hutan selama proses penebangan dan lamanya
tidak cukup satu atau dua hari," katanya.
Namun,
biaya untuk penyelamatan lahan konservasi tersebut selama ini hanya dari
bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sebagian besar dari luar negeri,
seperti Amerika Serikat dan Inggris.
YOSL-OIC
juga bekerja sama dengan Tropical Forest Coservation Action (TFCA) Sumatra
terkait pendanaan penyelamatan lahan konservasi tersebut.
Program
tersebut merupakan pengalihan utang negara untuk lingkungan dengan mitra LSM,
yakni Conservation International dan Yayasan Kenaekaragaman Hayati (Kehati)
sebagai "swap-partner".
Jadi,
Pemerintah Amerika Serikat sepakat untuk menghapus utang luar negeri Indonesia
senilai hampir 30 juta dolar AS selama delapan tahun (2009-2018), dengan
mengalihkan dana hibah tersebut untuk perlindungan dan perbaikan hutan tropis
di Indonesia.
"Ini
tidak dicatat sebagai pengeluaran negara karena semacam dana amanah yang boleh
dikelola pihak pemerintah luar negeri dan pemerintah kita. Otomatis, upaya ini
mengurangi utang negara," terangnya.
Dia
mengakui belum adanya bantuan pemerintah secara langsung untuk konservasi lahan
tersebut.
"Ini
sebetulnya properti negara, tetapi mengapa status, perlindungan, pengawasan dan
eksekusinya justru lemah," katanya.
Memberdayakan Masyarakat
Hingga saat ini sudah 400 hektar lahan gundul yang telah tertutupi tanaman hingga akhir 2012, artinya tinggal 100 hektar lagi yang harus dikonservasi.
Tanaman-tanaman
tersebut juga sebagian besar sudah tinggi dan rimbun. "Sehingga, kalau ada
gajah di kejauhan sudah tidak terlihat lagi," katanya.
Restorasi
lahan tersebut juga bertujuan untuk mengembalikan habitat satwa-satwa yang
mulai terancam, sehingga berdampak ke kehidupan manusia.
"Ini
juga bentuk mitigasi konflik dengan satwa, seperti gajah dan orangutan karena
mereka akan merambah ke rumah-rumah warga jika habitatnya mulai dijamah,"
ujar Panut.
Sebagai
bukti, pada 2007 sebanyak 380 kelapa sawit ditumbangkan gajah yang mengamuk dan
marah akibat tersengat aliran listrik yang dipasang petugas setempat untuk
mengusir satwa yang disebut "datuk" itu oleh warga Desa Halaban
tersebut.
Selain
itu, pihaknya bersama masyarakat juga telah memproduksi sebanyak 600 kilogram
kompos dari kotoran gajah dari Oktober hingga Desember 2012, sebagai campuran
media tanam.
Masyarakat
juga diarahkan untuk membentuk kelompok-kelompok pelatihan produksi bibit.
"Pada
triwulan sebelumnya telah terbentuk empat kelompok kerja restorasi, namun
kegiatan pelatihan produksi bibit baru dapat terlaksana untuk dua
kelompok," kata Manajer Program YOSL-OIC Masrizal Saraan.
Bibit-bibit
tersebut akan ditempatkan dan dirawat di pondok sebagai pusat pelatihan
pendidikan (nursery training center). Hingga saat ini, sudah terbangun empat
pondok restorasi dan lima unit pusat pembibitan di Kawasan Ekonomi Leuser (KEL)
Blok Karo-Langkat.
Masyarakat
juga difasilitasi untuk mengikuti Sekolah Lapang (SL) untuk mengubah paradigma
petani konvensional menuju paradigma petani yang ramah terhadap lingkungan
hidup, kata Masrizal.
SL
tersebut melibatkan 25 petani kakao, karet dan holtikultura (kentang) di
sejumlah desa di Kabupaten Langkat.
Kini,
petani terampil mamangkas kebunnya sendiri dan persoalan hama dan penyakit
secara umum sudah dapat dikendalikan.
Bahkan
jika ingin mengendalikan hama, sudah bisa dilakukan dengan memanfaatkan bahan
di sekitar lingkungan rumah untuk menjadi pestisida nabati, terangnya.
Panut
menyebutkan upaya tersebut merupakan wujud dari restorasi hutan, mitigasi
konflik, sosial kapital, pendidikan dan penyadaran masyarakat, dan ekonomi
lokal.
"Jadi,
sudah lengkaplah 'kebahagiaan' kami," katanya.
Manusia
dianugerahi alam yang begitu kaya dan bebas untuk mengolahnya. Namun, kebebasan
tersebut seringkali tidak disertai tanggung jawab. Akan lebih bijaksana jika
manusia juga berbalas budi atas apa yang telah alam berikan. Semoga kita masih
bisa melihat "baling-baling helikopter" tersebut tetap
"berputar" dan tidak patah.
***4***Bisa juga dilihat di laman ini
http://www.antaranews.com/berita/360438/ketika-kelapa-sawit-berubah-menjadi-helikopter
http://sindikasi.net/warta/ketika-kelapa-sawit-berubah-menjadi-helikopter
http://www.indonesia-update.com/lihat.php?id=41572
0 comments:
Post a Comment