Sunday 13 April 2014

Procrastination

Saya baru sadar banyak hal yang saya lewatkan akhir-akhir ini. Semuanya berawal dari “ah nanti saja”. Menunda-nunda karena berpikir kita mempunyai banyak waktu adalah awal dari kegagalan. Contoh kecil, saya menunda-nunda untuk mencuci motor sejak motor itu dikirimkan, alhasil setelah saya bawa motor itu ke tempat pencucian, tampilan si cantik tidak seperti dulu lagi karena ada noda-noda yang tidak bisa dibersihkan lantaran terlalu lama dibiarkan.
"Enggak bisa ilang ya, Bang?"
"Enggak mbak, soalnya ini udah berembun karena kelamaan didiemin,"
Dan ternyata, setelah dicuci luka gores di motor itu mulai terlihat, semakin menyesali diri saya sendiri karena abai dengan kendaran andalan saya ketika liputan.
Kemudian, saya pergi ke tempat servis resmi karena baru sekali saya menservisnya. Saya masih punya tiga lembar garansi untuk servis motor. Tapi, menurut pemilik tempat servis, garansi itu tidak berlaku lagi karena sudah terlalu lama dari tanggal yang seharusnya.
Sebetulnya mungkin bisa dengan menggunakan lembar paling terakhir, artinya saya melewatkan dua kesempatan servis gratis yang biayanya pun lumayan untuk makan anak kost.
Saya makin kesal dengan diri saya sendiri. Konsentrasi mengendarai motor pun buyar. Ya sudah lah.
Mulai rela memafkan diri sendiri, saya dibuat kesal lagi semalam. Saya telat mengirimkan artikel untuk lomba yang saya tunggu-tunggu. Bahan,  riset, hasil wawancara dari berbagai narasumber sudah dikumpulkan sejak jauh-jauh hari. Topiknya pun, saya banget! Tapi, semuanya seperti menguap dengan cepat dan merasa percuma.
Salah lihat tanggal pengumpulan terakhir bukan merupakan kesalahan utama saya. Mentraskrip yang dientar-entar, membuat kerangka yang dientar-entar, semuanya yang dientar-entar ini memicu saya untuk enggak “ngeh” lagi dengan lomba. Sampai pada akhirnya semuanya sudah lewat, rasa sesal begitu menyakitkan.
Kesempatan tidak datang dua kali memang betul adanya. Ada pun kesempatan kedua tetapi tidak akan segemilang kesempatan pertama. Semuanya berbeda.
Saya marah sekali dengan diri saya karena saya bukan seperti ini, menunda-nunda. Biasanya saya begitu sigap untuk hal-hal yang saya suka, entah mungkin sedang lelah.
Nasi sudah menjadi bubur, sekarang bagaimana membuat bubur itu supaya enak. Itu adalah kata-kata guru Bahasa Inggris waktu SMP yang membuat saya lumayan tenang.
Saya enggak boleh begini lagi. Janji.
NP: Thanks Jirapah for always calming me, even if  I know you cannot stand to laugh at me when I cry.

Tuhan Itu Pencemburu


"Tuhan itu pencemburu", kira-kira begitu kata Ibu. Sebenarnya ucapan itu telah disampaikan beberapa waktu lalu dan saya baru benar-benar memahaminya kali ini. Kejadian itu tepat seminggu yang lalu. Saya gagal mendapat tiket gratis untuk lanjut ke level selanjutnya di tempat kursus bahasa lantaran mengejar waktu harus ke markas besar, liputan. Di tempat kursus itu ada acara semacam "open house" yang setiap tahun diadakan. Saya menyempatkan untuk menghadiri acara itu karena berhalangan pada tahun lalu. Semua yang datang diberikan voucher dengan tiga pertanyaan seputar tempat les itu, nanti voucher itu diundi dan yang beruntung bisa les gratis selama satu termin (tiga bulan) secara cuma-cuma. 
Saya pikir pemenang akan ditelpon oleh panitia dan pada waktu itu saya buru-buru mengejar waktu, ketika di jalan saya diberi tahu teman kalau saya menang. Tapi hangus karena saya tidak di tempat. Ah, sial! Perasaan sedih dan menyesal sih tidak usah ditanya, berbagai perandaian muncul di kepala,”Andai, tadi saya bersabar sedikit, menunggu di sana”, “Andai saya punya firasat yang bagus”. Pasalnya, les itu adalah impian saya sejak dulu. Saya bahkan rela untuk bolos kerja demi les itu, pokoknya tidak ada bisa yang mengganggu les saya itu. 
Bela-belain naik taksi, sempat terjebak macet juga lantaran iring-iringan partai di hari terakhir kampanye pemilu legislatif, akhirnya sampai di markas besar dengan mata yang berkaca-kaca. Sulit sekali menyembunyikan mata besar yang semakin membesar karena menangis. Ya, saya memang cengeng. Ketika sampai di ruangan konferensi pers, petugas humas memberi tahu saya kalau acaranya ditunda besok. Gontai. Sontak saya menangis sekencang-kencangnya di depan bapak itu. Saya sudah tidak peduli dengan apa yang mereka katakan. Perandaian yang lebih dahsyat semakin menguat di kepala, saya tidak bisa berpikir jernih. 
Konyol memang, mungkin orang-orang berpikir, “Ya elah les doank, namanya juga undian”. Tapi, buat saya itu berarti. Pada saat itu sulit bagi saya, tapi ada janji yang harus ditepati. Saya pun langsung pergi memenuhi janji itu karena saya berkeyakinan sebagian kebahagiaan kita ada pada orang lain, mungkin keluarga di sana tengah membutuhkan bantuan saya, meskipun sulit menyembunyikan perasaan saya. 
Sekarang saya menyadari mungkin Tuhan cemburu kala itu, mungkin perhatian saya terlalu jauh fokus pada les, bukan pada Nya. Tuhan mungkin ingin mengembalikan perhatian saya pada Nya dengan mengambil apa yang menyedot perhatian saya. Itu lah cara Nya menunjukkan kuasa, membolak-balikan keadaan dengan sangat mudah hanya beberapa menit saja. Kalau Ia tak rela, tak akan ada. 
Ketika hal yang amat kita cintai pergi, mungkin Tuhan sedang cemburu. 
PS: I love you, Indra.