Monday 29 August 2011

Ucapan Klasik dari Hati

Dengan segala kerendahan hati, saya pribadi mengucapkan

MINAL AIDIN WALFAIDZIN, Mohon maaf lahir dan batin



P.S: Yeay Lebaran!!!

Debat Masak

Di rumah berarti masak. Masak apapun. Apalagi ini, mau lebaran banyak banget kudapan atau menu yang masuk daftar wajib masak. Salah satunya adalah kue- kue lebaran. Karena judulnya kue lebaran, otomatis resepnya pun spesial dan untuk disajikan dan disantap di hari spesial pula. Karena ke-spe-sial-an itulah, segala sesuatunya dipertimbangkan demi menghindari kue gagal. Gue gak tau nih, ini positif atau negatif seringnya suka banyak perbedaan persepsi muncul begitu saja. Debat lah ujung- ujungnya. Masalah resep lah, komposisi, lama pemanggangan, bahan pelengkap, sumanya deh dibikin ripuh. Padahal kita bikin kue ini dari tahun ke tahun. Jujur, gue males banget berdebat dan berkompromi dengan persoalan yang satu ini. Males banget. termasuk berdebat dengan ibu gue. Sampai beliau berujar,

"Kamu kalau punya suami, mungkin perang terus ya."

Ah, suami lagi (yang dibahasnya)....

P.S: written on days ago...

The Aeroplane over My Room


Saya baru terbangun dari tidur yang sangat nyenyak dan tentram sekali. Tidak lain tidak bukan dibangunkan oleh suara mesin pesawat dan cahaya matahari yang menyerobot masuk melewati jendela besar ini. Ah, saya tersadar saya tertidur di kamar saya tercinta ini, di rumah. Rasanya puas sekali bangun tidur sore di kamar ini. Rasanya bahagia. Sungguh.

Jadi kamar saya ini gak gede- gede amat. Hanya ada tempat tidur, meja belajar, dan lemari baju yang merangkap sebagai meja rias. Rias? Jangan dipertebal, kurang fungsional juga sebenarnya. Yang saya paling suka adalah dua jendela yang lumayan besar yang sangat bisa mempersilahkan cahaya matahari masuk kapan saja. Letak kedua jendela ini sangat dekat dengan tempat tidur, bahkan menempel dengan dindingnya. Seperti saya bilang tadi, karena lumayan besar, jendela ini tergaris dari atas sampai ke bawah, tetapi tidak sampai lantai. Yah, hampir menyentuh tempat tidur saya tadi. Karena besarnya itu pula, langit luas beserta yang apapun menghiasinya terlihat dari dalam sini (kamar saya).  Intinya, kalau saya sedang sekadar tidur- tiduran atau bangun tidur, saya seperti tidur di alam bebas tanpa ada penghalang antara langit dan pandangan saya ini. Seperti benar- benar tidur di bawah kolong langit. Sangat induktif sekali paragraf ini. Haha. 

Karena itu saya sangat bahagia. Kesadaran yang belum terkumpul utuh, pandangan mata masih samar. Tiba- tiba saja disuguhkan pemandangan menakjubkan, langit biru cerah dengan pesawat yang hilir mudik tiada henti. Terlebih sore ini, mungkin para pilot sedang sibuk mengantarkan para awak kabin ke kampung halaman. Biasa mau lebaran. Burung- burung juga masih banyak yang berterbangan di udara yang sudah sangat terkontaminasi dengan polusi ini. Dan pohon- pohon itu kenapa indah sekali gerakannya, pohon alpukat di depan saya ini sedang beregenerasi pasca pemangkasan parasit merugikan oleh Ayah saya. Bagus, hijau tua di barisan bawah dan muda di pucuknya. Berlenggok sedikit ketika angin senja menerpa. Centil sekali kau. :)

Saya bisa menyaksikan langsung langit berserta warna gradasinya, dari tua cerah di atas melembut muda menuju horison. Hai alam, tidakkah kau tahu di sini, di dalam kamar ini terdapat seorang gadis menampung banyak impian sedang menyaksikan keindahanmu. Sekali lagi, Subhanallah. Ini adalah hari terakhir ramadhan tahun ini. Dan ditutup oleh senja yang menakjubkan. Thank you mother earth, Alhamdulillah ya Allah. 

Oops! saya belum sholat Ashar.

P.S: - Saya juga terbangun oleh sms Agung, dia sedang memakaikan baju adiknya , Aya ‘Si Kriting’. Sweet  deed, dude
- Again, happiness is just simple 
- Entah, berapa kali saya membahas kamar saya ini tetapi yang jelas tak akan pernah habis untuk membahas keindahan alam. 

Kebutuhan Pokok

Kamera, Internet, Ide.

Sunday 21 August 2011

Tremendous Teletubbies


Pagi ini ada yang membuat gue ketawa kejang- kejang. Yup, tepatnya jam 5.30. Dan itu adalah waktu berharga bagi gue yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Pantang tidur sebelum nonton Teletubbies. Begitulah prinsip gue sejak munculnya (kembali) teletubbies di bulan puasa ini. Rendah amat prinsipnya. 

Mungkin beda kali yah zamannya gue dulu pas kelas 6 SD nonton teletubbies dengan sekarang yang udah jadi mahasiswa bangkot (baca: sedang menyusun skripsi biar bagusan hehe). Dulu pas nonton teletubbies, gue fine- fine aja, merasa apa yang dilakukan quartet Tinky-Winky, Dipsy, Laa-laa, dan Po adalah tindakan yang normal dan sangat wajar. Tapi sekarang, Bwahahaha (kalo gue boleh ketawa dulu), konyol banget bahkan gue bertanya- tanya ini kenapa lebih kearah imbisil yah?  
Yah contohnya, pas tadi pagi ini. Jadi ceritanya begini….

Tiba- tiba muculah sekonyong- konyong si bungsu Po sedang mengendarai skuternya itu. Kemudian tiba- tiba munculah suara misterius yang keluar dari benda yang mirip shower yang buat mandi di kamar mandi (yang mana kamar mandi dalam bahasa inggris juga diartikan sebagai shower,halah), pasti tau lah kalo yang setidaknya pernah menyaksikan salah satu episode dari teletubbies. Dan parahnya suara itu sangat ajaib karena entah kenapa apapun yang dikeluarkan si shower itu selalu diikuti oleh si teletubbies, jadi kayak ada aura pemaksaan. Entah saking kuatnya efek suara itu apa teletibbuies-nya aja yang polos (tadinya mau nulis bodoh tapi kasian teletubbies kan masih kecil) mau aja ngikutin itu suara. Terus si suara misterius itu bilang

“Po sedang mengendarai skuternya, kemudian tiba- tiba Po terjatuh dan terguling”

BUK

Mau gak mau donk, si Po lagi asik- asik naek skuter tiba- tiba dengan terpaksanya terjatuh dan terguling. Gue tau banget perasaan Po kayak gimana, pasti gondok banget. Sabar ya Po. Konyol sumpah konyol banget ngeliat proses terjatuh dan tergulingnya. Bwahahahaha. Karena Po sedang berada di bukit tertinggi, otomatis terus terguling dan kecepatannya semakin bertambah. Aduh itu lucu banget sumpah, kayak gorengan pisang molen ngegelinding. Eh, ternyata ada Tinky- Winky lagi main sama tas kesayangannya itu (Gue heran kenapa benda kesayangn Tinky Winky adalah tas ya? Warna merah lagi, kan orientasi seksnya ambigu dan patut dipertanyakan). Dan tiba- tiba suara misterius itu mucul kembali.

“Po, terus terguling dan menabrak Tinky-WInky” dan 

JEDDAGG

Bener banget nabrak si sulung Tinky- Winky yang badannya paling bongsor diataranya semuanya. Po bukan hanya menabrak Tinky-Winky dan dia juga ketimpa badan gedenya itu. Badan paling imut ditimpa sama badan paling gede. Gue ngerti Po gimana rasanya, gue tau banget perasaan lo. Emang dasar itu suara benar- benar misterius, magis, dan sesat! Eh dia muncul lagi.

“Po dan Tinky-Winky terguling dan terus terguling”

Eh ada Dipsy lagi joget- joget sambil pake topi dalmation kesayangannya itu. Dan suara sesat itu menggema lagi.

“Kemudian, Tinky- Winky menabrak Dipsy, dan Dipsy pun terguling.” 

DDASS

Jadilah, tiga biji pisang molen terguling. Sumpah lucu banget, mereka kan pada montok. Mereka cuma berdiri aja, minta digigit, ini keguling- guling gitu. Jadi pengen terguling juga, Lho? Dan Sekarang gentian Tinky-Winky sama Dipsy tumpuk- tumpukan. Ternyata eh ternyata di depan mereka ada Laa- laa sedang bermain dengan bola yang bunyinya ‘towew- towew’ itu. Dan tidak bisa dihindari suara sial itu menghipnotis mereka kembali yang tidak berdosa. 

“Kemudian, Dipsy menabrak Laa-laa. Dan semua Telletubies terguling”

BUMM

Lengkaplah sudah empat biji pisang molen montok terguling. Dan yang bikin gue heran, mereka kan terguling tuh dari tadi dari ketinggian sekian kilometer, apalagi Po, tenang Po gue yang paling ngerti perasaan lo Po, ditambah pake acara tabrak- tabrakan dan tindih- menindih pula tapi tetep aja cekikikan kesenengan, ya ampun bocah! Mereka terguling- guling dari bukit tertinggi sampai berjejer rapi terguling masuk ke rumah yang mirip tempurung penyu itu. Dan ajaibnya mereka seketika keluar dan lagi- lagi melakukan ritual sakral mereka, Berpelukan. Suara itu menegaskan.

“Teletubbies senang beguiling- guling dan senang berpelukan”

Heeeeeeeehhh, apa hubungannya? Tapi, salut gue sama mereka, gak ada pusing- pusingnya sama sekali. Gue aja pusing mikrin skripsi (BLAH). Terguling- guling, tabrak- tabrakan, tumpuk- tumpukan langsung bangun dan pelukan. Salut abees. Terutama sama lo Po, lo emang the best lah buat gue. Hidup Po! Calonkan Po jadi Presiden. Gak kebayang program kerjanya “Berguling- guling di Bundaran HI setiap minggu selama satu perempat jam” dan APBN-nya dibelanjakan dengan membeli beberapa unit skuter dan mengganti semua kendaraan menjadi skuter. Gue dukung lah, lumayanlah kampanye Go Green

Ok, back to the natures of Teletubbies!

Dan yang membuat gue lebih salut lagi adalah mereka langsung menari- nari dengan riangnya. Mereka tidak semata- mata menari dengan inisiatif sendiri tetapi, dipengaruhi oleh suara ketawa bayi matahari dan kencangnya putaran kincir angin. Pasti pada tau kan? Kagak tau? Waduh parah lo! Parah- parah, masa gak pernah nonton tontonan anak yang paling gaol sedunia. (Emangnya udin, sedunia?). Jadi gue mengambil kesimpulan kalo semua property atau pemeran pendukung yang ada di teletubbies seperti, shower, suara misterius, bayi matahari, kincir angin semata- mata untuk memperbudak para bocah- bocah imut tak berdosa itu. Hilangkan perbudakan, perjuangkan hak teletubbies! Lho, kenapa jadi demo gini?

Okay, mereka menari- nari dengan  gerakan yang aduhai dan enerjik yang mana gerakannya gue sendiri hafal (SIGH). Kalo urusan nari, emang Dipsy yang paling lincah, tapi dia lebih ke arah hip-hop atau rap, dan menurut gue yang tariannya paling rapi adalah Laa-laa. Kalo Tinky-Winky sih biasa aja, mungkin karena kegedean badan juga kali ya jadi gak lincah- lincah amat. Nah ini dia si Po yang paling kaco banget dah narinya, gak sama barisannya, yang lain udah muter, dia belom muter, kadang suka buat gerakan sendiri. Haduh prihatin, udah mah piling kecil lo tuh ya. Tapi, inget Po ada gue, apapun gue dukung buat lo!  

Mereka terus- terusan menari dan putaran kincir anginya semakin cepat. Itu tandanya mereka harus menghentikan segala kegiatan yang mereka lakukan dan melakukan kegiatan yang lain. Udah kebaca sih, dan emang bener kan lagi- lagi mereka  harus melihat rombongan binatang- binatang virtual yang numpang lewat di bukit telletubies. Putaran kincir melemah dan bayi matahari ketawa cekikikan. Mereka harus pulang, waktu bermain (baca: penyiksaan) telah usai. 

Nah, acara dadah- dadahan ini nih suka dipake tebak- tebakan sama adek- adek gue. Jadi, bagi lo- lo yang kuper dan gak tau teletubbies, nih gue kasih tau mereka kalo mau udahan ini masing- masing berada di balik bukit, tapi bagi gue itu lebih mirip gundukan. Dan si suara misterius itu memimpin

“Dadah Tinky- Winky”
“Dadah”

Dan seterusnya sampai Po, sampai semua bersembunyi, hingga ada salah- satu dari mereka yang muncul kembali dan mengucapkan “Ba” seperti di “Ci Luk Ba” Maisy Muah, nah ini dia yang kata gue yang suka dipake tebak- tebakan yang seringnya memicu potensi pertengkarang diantara saudara kandung. Dimulai dari gue. (Ini waktu gue masih sekitar kelas 1 SMP, Nining adek gue kelas 1 SD, dan Fajar ketika itu masih bayi).

“Hayo siapa coba yang muncul?”
“Kata Nining, Hmm….Po!”
“Kalo kata Teh Ita, Dipsy yang muncul!”

Dan biasanya sepupu gue, Robby, yang sama gilanya juga ikut- ikutan dan sebenernya dia tersangka utamanya.

“Kalo kata A Oby, Laa-laa”

Dan ternyata yang muncul adalah Dipsy, dan gue teriak kegirangan.

“Tuh kan Dipsy yang muncul!”
“Tadinya Nining juga mau nyebut Dipsy ituuu.”
“Hmmm…booong tuh boooong, pasti gitu haha.!” Kata Robby mengopor- ngomporin. 

Dan tiba- tiba….

“Huwaaaaaaaa, A Oby-nya nakal!”
“Nangis….nangis…” Robby memperkeruh suasana. 

Adek gue mewek menggelegar.  Benar- benar kakak- kakak  yang tidak bertanggung jawab. Sebenernya sih, sekarang juga kalo lagi nonton bareng sama adek- adek gue, gue jadi terpicu untuk memimpin permainan tebak- tebakan ini. 

“Hayo, siapa yang muncul?”
“Kata Fajar, Tinky-Winky kalo gak Laa- laa!”
“Hayo, Tinky-Winky apa Laa- laa?? Gak boleh dua!” Tanya gue menggoda dan memerintah.
“Tinky-Winky deh”
“Kata Nining, Laa-laa!”

Eh yang muncul Laa- laa.

“Yee, teh Nining menang!”
“Huh, coba Fajar tadi pilih Laa- laa!”

Tapi, bedanya Fajar gak nangis kayak Nining waktu kecil dulu hehe. Dan kalopun Nining kalah, dia gak kan nangis terang aja udah kelas 2 SMA. Ya Allah dosa apa ini, ikatan saudara kandung yang udah pada bangkot tapi masih doyan acara balita. 

Selain, pas ritual ‘say goodbye’ ada satu lagi yang bisa dibuat bahan tebak- tebakan, yaitu pas mereka berjajar diatas bukit dan menunggu peruntungan antena siapa yang menancap di kepala mereka yang menyala dan secara otomatis kotak tv di perut buncit mereka pun menyala. Jujur, bagian ini yang paling gue suka di Teletubbies soalnya suka menceritakan cerita anak- anak kecil di Inggris yang mana bukan ceritanya yang gue fokuskan, tapi tempat di-shoot-nya itu bikin nature of traveling gue bangkit. Autumn, woods, leaves, humidity, Green Grass, English House eeuuh jadinya nyambung ke judul lagu band inidie gini. Dan declaration of war pun dimulai

“Hayo tv siapa yang nyala?”

Pokonya episode pagi ini paling juara deh, bisa banget bikin gue ketawa guling- guling dan terguling seperti mereka *gak ding. Tapi sebenernya Teletubies mempunya misi yang mulia berdasarkan apa yang gue baca di Tabloid anak- anak paling kece masa itu bukan masa kini. Jadi Anne Woods dan Andrew Davenport para pencipta Teletubbies ini prihatin sama acara anak- anak yang kala itu banyak menampilkan gontok- gontokan, kayak Power Rangers. Namanya juga anak- anak mereka secara polos meniru apa yang ditampilkan di tv yang mereka tonton. Jadi, duet Woods dan Davenport ini mengeluarkan ide acara tv anak- anak yang menampilkan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Yah, makanya itu ritual ‘Berpelukan’ merupakan ritual sakral, utama, dan rutin untuk dilakukan dalam keadaan apapun. 

Jangan  heran dan maklum aja kalo mereka sering banget  berpelukan. Abis makan Kue Tubby, berpelukan, abis main skuter berpelukan, abis loncat- loncat berpelukan, abis berguling- guling berpelukan, abis tabrakan berpelukan, abis jatoh di got berpelukan, abis ketimpa genteng berpelukan. 

Dulu memang Teletubbies ini sangat popular. Di sekitar awal tahun 2000-an mereka meraup kesuksesannya yang tertinggi. Yah, peribahasa mengatakan, semakin tinggi suatu pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya. Sabar ya kalian, gue ngerti banget perasaan lo, terutama Po. Rupanya kepopuleran dan rumor garisnya berbanding lurus. Banyak banget gossip- gossip tentang mereka. 

“Eh, katanya Tinky- Winky mati, soalnya penutup kepalanya gak bisa dibuka”
“Bukan tau, si Dipsy yang dibawa ke rumah sakit mah keabisan napas di dalem bajunya itu.”
“Kalo kata orang- orang mah Po yang parah soalnya dia kan yang paling kecil gara- gara paling sempit dan sesek bajunya

Haduh, prihatin kalo inget dulu. Lagian, rumah sakit mana yang mau menampung ketiga badut pisang molen itu. Kalopun, ada yang mati, gue rasa gak ada tuh rumah sakit yang bersedia melakukan otopsi terhadap mayatnya yang imut dan melakukan visum untuk mengetahui penyebab kematian mereka. Serem kan.

Pokonya, Viva La Vida deh Teletubbies. Keep Rockin’ in the air yeah. *goyanggoyangsetelahituberpelukan

PS: Astaga, gak kerasa sepanjang dan sebanyak ini gue ngetik cuma buat ngebahas Teletubbies??
- Gue dan Po memiliki kedekatan dan kesamaan nasib naas yang sama. Paling kontet diantara teman-    teman sebaya. Makanya gue ngerti banget perasaan Po. 
- Gue masih penasaran, sebenernya Teletubbies itu adalah badut yang mana ada manusia didalemnya dan bergerak- gerak sesuai yang diperintahkan atau robot yang pake remot? Kayaknya yang kedua gak mungkin deh soalnya luwes banget gerakannya. Atau mereka sebenarnya adalah alien sungguhan? Rupanya ini masih menjadi misteri kawan, misteri…..

Fine Pines.


Kemarin saya dan Milta pergi ke tempat dimana pinus, kuda, sapi, bunga matahari, rumput hijau menyatu dengan harmoni udara sore yang begitu menyejukkan. I think you can guess where we are if you read my previous posting. Driven by the desire of our hunger of nature, freshness, and folk, we decided to go there. What? Folk? Yeah, we think that nature and folk have the close-relation. They are strongly entwined within. 

Sampai di sana, Milta sangat antusias. Senang melihatnya. Ternyata ada juga orang selain saya yang senang luar biasa hanya dengan melihat pinus, rumput, cemara, gunung, dan berbagai hewan seperti kuda dan sapi. Sebenarnya, kita merencanakan dengan sempurna dengan membawa gitar, notebook, dan pastinya kamera. Hanya, notebook dan kamera sedang berhalangan hadir, jadi hanya gitar saja yang ikut serta. Baru kali ini saya mengajak gitar klasik kesayangan dan satu- satunya milik saya jalan- jalan. Pasti kamu sangat senang :D

Di sana saya langsung mengeluarkan gitar saya dan memainkannya. Tidak banyak yang saya mainkan, tetapi lagu Matt Pond PA sempat saya mainkan walaupun tidak secara keseluruhan, Halloween, Starting, In the Aeroplane over the Sea. Kita duduk di atas batang pohon kering yang besar dengan beberapa kuda besar- besar di belakang, sapi- sapi dan bunga matahari di depan sana, di kiri berjajar beberapa kursi santai dan tempat dimana musik country mengalun, di sebelah kanan gunung membiru menjulang tinggi, dan pinus, cemara, dan rumput hijau sejauh mata memandang. Mau apa coba?

Kita berjalan melewati barisan cemara yang disusun rapi seperti altar pernikahan, sampai Milta berujar, “Ini cocok banget banget buat resepsi pernikahan, rasanya nanti pengen nikah disini”. Kita duduk di atas rumput hijau. Saya tetap memetikan senar gitar, dan Milta tak  ada habis- habisnya meneriakkan kekaguman atas indahnya tempat tersebut. Seperti biasa membicarkan tentang musik .Ini dan itu dan banyak sekali. Folk, Indie, Justin Vernon, Matt Pond PA, Remedy, Iga Massardi, blog, Efek Rumah Kaca, traveling, Cholil Machmud, buku, Bon Iver, Guitar, Fleet Foxes. Beberapa subtopik tersebut memang tidak pernah terlepas dari obarolan kita. Yeah, we love music, we love our own music and we love indie guys, handsome indie guys, handsome hidden indie guys

Tiba- tiba ada kuda hitam yang menghampiri dengan ringkikannya. Saya pun tergoda untuk menyentuh dan mengelusnya. I love animals, except the caterpillars BIG NO WAY for those cursed creatures. Saya memulai mengelus hidungnya karena katanya kuda senang dielus hidungnya, asal jangan kena liurnya saja, tidak berbahaya sih tapi amit- amit saya tidak pernah merelakan tangan saya terkena liur binatang apapun. Menurut pengalaman saya yang pernah ngelus kuda juga (halah), kalau kita sudah mengelus hidungnya mereka akan ingin dielus bagian tubuhnya yang lain. Intinya mah nagih keenakan dielus.Tuh kan punggungnya pengen dielus juga.

Kita meneruskan berjalan menuju kebun bunga matahari dan kandang sapi. Sayang, hari sudah gelap jadi bunga matahari sudah merunduk malu. Dan saya pun bertemu kembali dengan sapi yang waktu itu saya kasih rumput. Hi, how are you? Milta yang tadinya ragu untuk memberi mereka rumput juga akhirnya berani. Dan pada akhirnya sapi itu lebih memilih rumput yang Milta sodorkan, awas kamu ya sapi! Haha

Adzan maghrib sudah berkumandang, waktunya buka puasa. Sebenarnya diantara saya dan Milta sedang berhalangan puasa tapi kita tidak membicarakannya haha. Kemudian kita pun duduk di ayunan berbentuk lingkaran yang terdapat bangku berhadapan. Saya menawarkan pudding yang saya buat. Walalupun bentuknya kacau, tapi untungnya Milta suka. Hehe. Lain kali kamu harus membuatkan saya spaghetti, Milta. Yes, we both do love cooking. Dan Milta mengeluarkan ide gila untuk menawari Remedy, Iga, atau Cholil masakan kita. Gila kamu Milta. Haha.

“Kita di sini aja Chuii, sampai nunggu diusir!”, ajak Milta. Duduk- duduk di kursi kayu unik sambil meminum susu moka, sambil melihat gabungan pemandangan padang rumput, pinus, dan gunung di malam hari yang gelap. Mereka sedang pamer siluet. Memesona. Pergilah kita ke cowboy shop yang tidak jauh dari situ, barang- barang yang didagangkan pun memang terkonsep dan unik. Topi, vest, jacket cowboy, sampai flannel coat yang menggoda Milta untuk membelinya. 

Para pegawai yang mulai membereskan sepeda- sepeda yang terjajar kembali ke tempat penyimpanan yang biasanya untuk disewakkan. Itu sudah cukup memberi tahu kita untuk pulang. Kami menyusuri jalanan sekitar Lembang sambil menggendong gitar dan mampir sebentar untuk menikmati ketan bakar dan segelas kopi. Kita berasa pendatang yang melawat dari pulau sebrang. Obrolan pun berlanjut, mulai dari musik, teman- teman, politik, sampai surga dan neraka.  Awalnya hanya sebentar, malah tidak terasa sampai beberapa jam kita disana, duduk diatas tikar karung yang disediakan oleh Ibu penjualnya. Baik sekali. Beberapa kali kita ditanya, “Dari mana neng?” “Pulangnya kemana neng?”. Dan ketika kita menjawab kita menaiki angkot untuk pergi dan pulang, Ibu- ibu dan Bapak- bapak sedikit terkejut, mungkin kuatir.Tenang saja Bu, Pak, kita pemberani kok hehe. We are wild girls

Di angkot kita pun melanjutkan obrolan kita. Apa saja. Sampai di kostan saya juga begitu, sepertinya obrolan kita memang tidak akan pernah habis. Sampai akhirnya kita balik lagi ke kostan untuk mengambil kembali pudding yang tertinggal ketika mengantar Milta ke gang depan. 

The camera was not with us but all of those miraculous things are strongly captured in our mind. Overall, I always love our conversations. Keep our way like this, Milta. Nature is always real, humans are fake.

P.S: Sorry for not waiting you ‘till you got on the angkot.
       “The pines control the wild sarcasm” Closer- Matt Pond PA
       Next destination?