Tuesday 12 March 2013

Ketika Kelapa Sawit Berubah Menjadi Helikopter



 Oleh Juwita Trisna Rahayu
         Geligi gergaji mesin itu seperti tidak sabar ingin menggerogoti batang kelapa sawit yang kokoh dan penuh air. Mesin dinyalakan, olinya menetes seperti liur. Ujung lidah gergaji itu mulai menyentuh serabut hitam yang menutupi batang yang sedikit demi sedikit termakan.
        Dan "hap" kelapa sawit itu tumbang, batangnya menghantam keras ke tanah. Kelapa sawit tumbang, tumbuh ilalang. Namun, hamparan hijau muda itu tak seluas dahulu. Wilayahnya lama-kelamaan tergeser oleh "helikopter-helikopter" yang baru saja menumbuhkan "baling-balingnya".
        "Ini kami sendiri yang menamai karena belum teridentifikasi namanya. Lihat, daunnya seperti susunan baling-baling helikopter," kata Ahmad Azhari, Koordinator Tim Restorasi Yayasan Orangutan Sumatra Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC) sembari menunjukkan tanaman penyelamat hutan gundul tersebut.
        Jika tertiup angin, daun-daunnya bergerak persis seperti putaran helikopter, tambah pria yang lebih dikenal dengan sebutan Ari itu.
        Jumlah helikopter kini telah mencapai 1123 bibit, 642 bibit pada tahap pembibitan satu dan 481 pada tahap pembibitan dua.
        "Yang sudah tertanaman di hutan (kawasan restorasi) sudah ribuan dan jumlahnya bertambah karena dibantu burung-burung yang menyebarkan benihnya," kata dia.
   Bukan hanya helikopter, rambutan (Nephelium lappaceum), pulai (Alistonia scholaris), jeluak (Mallotus barbatus), turi-turi (Sesbania grandiflora), sempuyung (Hybiscus macrophllus) bahkan durian (Durio spp.) telah menggantikan posisi kelapa sawit dan ilalang di kawasan restorasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
        Hingga kini sudah 125 ribu bibit pohon dihasilkan. Berdasarkan data dari YOSL-OIC, jumlah produksi bibit hingga Desember 2012 mencapai 90.720 bibit dari 41 spesies.
        Masih ada 165 ribu bibit lagi yang harus ditumbuhkan hingga tiga tahun ke depan untuk menutupi 100 hektar lagi lahan gundul kawasan tersebut, katanya.
        Mengapa harus menebang kelapa sawit? "Kelapa sawit tidak boleh ditanam di kawasan restorasi," jawab Ari singkat.
        Lelaki itu menjelaskan sawit-sawit tersebut merupakan bentuk dari perambahan kawasan restorasi TNGL yang seharusnya tidak boleh terjadi.
      
    Cegah Banjir, Tampung Air
   Jika kawasan terus dirambah dengan menanam kelapa sawit, tanahnya akan semakin sulit menyerap air karena sifat akar kelapa sawit yang sulit mengikat air, sehingga rentan terjadi longsor dan banjir.
        Ari menjelaskan sebelum ditanami bibit-bibit tanaman konservasi tersebut, kawasan hutan TNGL kerapkali dilanda banjir.
        Banjir tersebut mengakibatkan tanaman yang tidak resisten ikut terbawa arus.
        Namun, menurut dia, banjir tidak selalu berdampak negatif. Lumpur pascabanjir ternyata baik untuk menyuburkan tanaman.
        Selain itu, dia menjelaskan batang kelapa sawit besar sangat menguras cadangan air tanah yang seharusnya dipakai warga untuk kebutuhan sehari-hari.
        Warga sampai membeli air seharga Rp600 ribu untuk dua drum atau sebanyak 150 liter.
        "Ini aneh, kawasan hutan hujan tropis tapi krisis air," ujar Ari.
        Namun, seiring dengan kian banyaknya bibit-bibit helikopter dan kawan-kawannya tumbuh bahkan meninggi, banjir tidak lagi ditemukan di kawsan tersebut. Warga pun bisa mengambil air tanah, sehingga beban ekonomi mereka pun berkurang.
        Sementara itu, menurut Direktur YOSL-OIC Panut Hadisiswoyo penebangan kelapa sawit buka aksi yang ilegal.
        "Justru kita menebang kelapa sawit yang penanamannya ilegal karena merambah lahan konservasi TNGL. Bahkan batasnya jelas," terang Panut.
        Pihaknya juga telah berupaya meluruskan pandangan masyarakat akan perambahan tersebut.
        "Kami harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa sawit ilegal harus ditebang. Kami juga menyerahkan penebangan ke pihak TNGL dan masyarakat ikut menyaksikan dalam proses penebangan tersebut.
        Dia tidak menampik awalnya warga terpukul dengan penebangan kelapa sawit tersebut, namun seiring berjalannya waktu, warga dapat mengikhlaskan kelapa sawit tersebut yang mencapai 500 hektar.
        Jika dihitung, kerugiannya mencapai satu juta dolar AS per tahun.
        Namun, menurut Panut, dampak ekologis dan dampak-dampak lainnya yang akan ditaggung masyarakat jauh lebih dari jumlah nominal tersebut.
    
   Mengurangi Utang Negara
   Dalam satu tahap penebangan, Panut mengatakan pihaknya bisa menghabiskan jutaan rupiah karena tiap satu batang kelapa sawit yang ditebang dihargai Rp15 ribu, belum termasuk upah dan biaya operasional penebang.
        "Karena, mereka (penebang) harus menginap di hutan selama proses penebangan dan lamanya tidak cukup satu atau dua hari," katanya.
        Namun, biaya untuk penyelamatan lahan konservasi tersebut selama ini hanya dari bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sebagian besar dari luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Inggris.
        YOSL-OIC juga bekerja sama dengan Tropical Forest Coservation Action (TFCA) Sumatra terkait pendanaan penyelamatan lahan konservasi tersebut.
        Program tersebut merupakan pengalihan utang negara untuk lingkungan dengan mitra LSM, yakni Conservation International dan Yayasan Kenaekaragaman Hayati (Kehati) sebagai "swap-partner".
        Jadi, Pemerintah Amerika Serikat sepakat untuk menghapus utang luar negeri Indonesia senilai hampir 30 juta dolar AS selama delapan tahun (2009-2018), dengan mengalihkan dana hibah tersebut untuk perlindungan dan perbaikan hutan tropis di Indonesia.
        "Ini tidak dicatat sebagai pengeluaran negara karena semacam dana amanah yang boleh dikelola pihak pemerintah luar negeri dan pemerintah kita. Otomatis, upaya ini mengurangi utang negara," terangnya.
        Dia mengakui belum adanya bantuan pemerintah secara langsung untuk konservasi lahan tersebut.
        "Ini sebetulnya properti negara, tetapi mengapa status, perlindungan, pengawasan dan eksekusinya justru lemah," katanya.
  
   Memberdayakan Masyarakat
   Hingga saat ini sudah 400 hektar lahan gundul yang telah tertutupi tanaman hingga akhir 2012, artinya tinggal 100 hektar lagi yang harus dikonservasi.
        Tanaman-tanaman tersebut juga sebagian besar sudah tinggi dan rimbun. "Sehingga, kalau ada gajah di kejauhan sudah tidak terlihat lagi," katanya.
        Restorasi lahan tersebut juga bertujuan untuk mengembalikan habitat satwa-satwa yang mulai terancam, sehingga berdampak ke kehidupan manusia.
        "Ini juga bentuk mitigasi konflik dengan satwa, seperti gajah dan orangutan karena mereka akan merambah ke rumah-rumah warga jika habitatnya mulai dijamah," ujar Panut.
        Sebagai bukti, pada 2007 sebanyak 380 kelapa sawit ditumbangkan gajah yang mengamuk dan marah akibat tersengat aliran listrik yang dipasang petugas setempat untuk mengusir satwa yang disebut "datuk" itu oleh warga Desa Halaban tersebut.
        Selain itu, pihaknya bersama masyarakat juga telah memproduksi sebanyak 600 kilogram kompos dari kotoran gajah dari Oktober hingga Desember 2012, sebagai campuran media tanam.
        Masyarakat juga diarahkan untuk membentuk kelompok-kelompok pelatihan produksi bibit.
        "Pada triwulan sebelumnya telah terbentuk empat kelompok kerja restorasi, namun kegiatan pelatihan produksi bibit baru dapat terlaksana untuk dua kelompok," kata Manajer Program YOSL-OIC Masrizal Saraan.
        Bibit-bibit tersebut akan ditempatkan dan dirawat di pondok sebagai pusat pelatihan pendidikan (nursery training center). Hingga saat ini, sudah terbangun empat pondok restorasi dan lima unit pusat pembibitan di Kawasan Ekonomi Leuser (KEL) Blok Karo-Langkat.
        Masyarakat juga difasilitasi untuk mengikuti Sekolah Lapang (SL) untuk mengubah paradigma petani konvensional menuju paradigma petani yang ramah terhadap lingkungan hidup, kata Masrizal.
        SL tersebut melibatkan 25 petani kakao, karet dan holtikultura (kentang) di sejumlah desa di Kabupaten Langkat.
        Kini, petani terampil mamangkas kebunnya sendiri dan persoalan hama dan penyakit secara umum sudah dapat dikendalikan.
        Bahkan jika ingin mengendalikan hama, sudah bisa dilakukan dengan memanfaatkan bahan di sekitar lingkungan rumah untuk menjadi pestisida nabati, terangnya.
        Panut menyebutkan upaya tersebut merupakan wujud dari restorasi hutan, mitigasi konflik, sosial kapital, pendidikan dan penyadaran masyarakat, dan ekonomi lokal.
        "Jadi, sudah lengkaplah 'kebahagiaan' kami," katanya.
    Manusia dianugerahi alam yang begitu kaya dan bebas untuk mengolahnya. Namun, kebebasan tersebut seringkali tidak disertai tanggung jawab. Akan lebih bijaksana jika manusia juga berbalas budi atas apa yang telah alam berikan. Semoga kita masih bisa melihat "baling-baling helikopter" tersebut tetap "berputar" dan tidak patah.
    ***4***


Bisa juga dilihat di laman ini 
http://www.antaranews.com/berita/360438/ketika-kelapa-sawit-berubah-menjadi-helikopter 
http://sindikasi.net/warta/ketika-kelapa-sawit-berubah-menjadi-helikopter
http://www.indonesia-update.com/lihat.php?id=41572

Amarah Sang "Datuk" di Gunung Leuser



Oleh Juwita Trisna Rahayu
        Ari terbirit. Dia dan empat kawannya seketika mengambil langkah seribu saat si empunya gading dan belalai itu menggertak. Mudah saja bagi satwa yang bisa mencapai bobot lima ton itu untuk menghantam Ari dan kawannya. Namun, kata Ari, bukan itu tujuannya.
        "Dia hanya ingin menunjukkan siapa yang punya "power" (kekuatan) lebih dan ketika lawannya lari, dia tahu kami ini lemah, lalu dia kembali makan. "Datuk", hanya tidak mau diganggu," katanya.
        Warga Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sejak dahulu memanggil hewan yang bernama latin Elephas maximus sumatranus itu dengan sebutan Datuk.
        Ahmad Azhari atau akrab disapa Ari, Koordinator Tim Restorasi Yayasan Orangutan Sumatra Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC), menjelaskan sebutan tersebut ditujukan untuk menghormati seseorang atau siapapun yang mempunyai kekuatan besar.
        Tidak satu kali itu saja Sang Datuk melampiaskan amarahnya. Ari bercerita pada 2007 saat restorasi lahan kritis TNGL menapaki langkah awal, gajah-gajah tersebut mengamuk, menumbangkan 380 pohon kelapa sawit hanya dalam satu malam lantaran tersengat aliran listrik yang dipasang oleh petugas TNGL setempat.
        "Bukan mereka makan, tapi hanya dibabat habis karena mereka betul-betul marah," ujarnya.
        Selain itu, kabel listrik yang menghantarkan sengatan ke tubuh gajah itu pun tidak luput dari perhatiannya. gajah-gajah itu membelitkan kabel-kabel itu ke beberapa pohon sawit untuk ditumbangkan dalam sekali aksi.
        Tidak hanya pohon kelapa sawit yang menjadi korban kemarahan gajah-gajah tersebut karena ulah manusia, dapur posko pembibitan tanaman untuk konservasi lahan pun pernah porak-poranda akibat amukan gajah-gajah tersebut.
        "Dapur kita hilang bambunya dipulas sampai retak," katanya.
        Kejadian tersebut terus berulang hingga pada saatnya gajah-gajah itu mengerti bahwa mereka hidup berdampingan dengan manusia.
        Mereka menyadari ini merupakan kawasan manusia dan Ari menilai dia dan rekan tim konservasi tidak merusak habitat tersebut justru ingin mengembalikannya.
        Akhirnya, gajah-gajah tersebut tidak lagi mengganggu karena memang sifat alaminya yang menghindari konflik dengan manusia, kata Ari.

   Satwa Pintar
   Amarah yang dilontarkan satwa bertelinga besar itu merupakan bentuk protes dari insting mereka akan hal-hal yang disuka dan tidak, apalagi sampai mengancam habitatnya.
        Ari mengaku sudah bertahun-tahun bergelut dengan gajah dan menilai mereka adalah satwa yang pintar.
        Pertengahan 2007, beberapa personel Brimob berusaha mengusir gajah dengan melepaskan tembakan ke udara. Awalnya efektif, gajah-gajah itu berlari menjauh dari sumber suara tembakan. Namun ternyata tidak cukup mengelabuinya untuk kedua apalagi ketiga kalinya.
        "Mendengar suara senapan, datuk pada lari ketakutan tapi lama-kelamaan, dia mungkin berpikir 'ah suaranya saja yang besar, tapi gak ada apa-apanya', jadi dia tetap santai makan di situ," ujarnya.
        Ari juga mengatakan jika gajah tersebut justru "sangat baik" terhadap masyarakat sekitar.
        Beberapa bulan yang lalu, dia menceritakan, warga sekitar menanam pohon pepaya yang tidak jauh dari pekarangan belakang rumah. Gajah-gajah tersebut ingin memakan batangnya, tetapi dia memetik buahnya terlebih dahulu, dia tutupi dengan daunnya untuk warga. Baru setelah itu, batangnya dia bawa ke hutan.
        Ari juga menunjukkan tanaman ficus yang pelepahnya merupakan makanan favorit sang datuk.
        "Kalau lima batang seperti ini, dia hanya ambil tiga dan menyisakan dua untuk makan berikutnya," ujarnya.
        Sang datuk tidak akan mengganggu, jika manusia tidak berbuat ulah, katanya.
        Ari pernah terjebak di antara koloni gajah yang melintas usai berkubang menuju hutan primer.
        "Kami waktu itu sedang berkereta (menggunakan sepeda motor) dengan kawan menuju posko, dan tiba-tiba tepat di depan kami ada sekitar empat gajah yang melintas. Kami diam dan menunggu mereka lewat dan buktinya mereka tidak menyerang," katanya.
        Gajah-gajah tersebut akan belajar dari apa yang dia alami, sehingga menuntut Ari dan warga sekitar mencari metode baru untuk menghalau gajah jika keberadaaan warga terancam, terang Ari.

   Mengedukasi Warga
   Seiring berjalannya waktu, konflik-konflik dengan gajah sudah berkurang bahkan sudah tidak pernah terjadi lagi, kata Ari.
        Keberadaan gajah saat ini jumlahnya terus meningkat, dari empat terus bertambah menjadi 15 dan saat ini mencapai 32 ekor. Jumlah tersebut belum termasuk koloni yang sering datang berempat atau bertujuh.
        Masyarakat saat ini sudah menerima keberadaan mereka dan mencoba untuk tidak mencari ribut dengan datuk.
        Menurut Ari, bukan gajah yang mengganggu warga sekitar, justru warga yang jelas-jelas menjamah habitat mereka.
        "Kawasan ini rumah mereka, kemudian kita datang dan mengganggu ya wajar kalau dia marah. Logikanya begini, ini jalan yang biasanya mereka pakai untuk lewat kemudian kita bangun rumah di situ, tidak heran jika dihancurkan," katanya.
        Dia dan tim restorasi pun mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada warga untuk meluruskan pandangan-pandangan yang selama ini keliru.
        "Saya bilang, mereka itu binatang pintar. Yang penting kita tahu posisi kita dan jangan pernah mengganggu karena datuk akan selalu mengingat seumur hidupnya jika kita berbuat salah," katanya.
        Jika musim gajah datang, yakni sekitar Juni, warga sekarang ini bekerja sama bergantian menjaga posko.
       Dia juga mengatakan hingga saat ini belum pernah ditemukan kasus  gajah mati di sekitar kawasan TNGL.
       "Mudah saja bagi datuk untuk menghancurkan kita karena kami kecil dibandingkan dengan mereka. Jadi jangan berbuat ulah," katanya
   Apa yang dilakukan Ari dan tim restorasi merupakan bagian dari upaya mengembalikan hutan ke fungsi aslinya, seperti restorasi hutan, mitigasi konflik, sosial kapital, pendidikan dan penyadaran masyarakat, dan ekonomi lokal.
        Direktur YOSL-OIC Panut Hadisiswoyo upaya tersebut merupakan implementasi dari mitigasi konflik dengan satwa di kawasan TNGL.
        "Awalnya warga pakai meriam karbit untuk mengusir gajah, tapi dia semakin resisten. Karena itu, kami mencari cara-cara yang solutif," katanya.
        Hingga saat ini pihaknya telah menanam sebanyak 125 ribu bibit yang sudah ditanam untuk menutupi lahan ilalang agar tercipta kembali habitat bukan hanya untuk gajah, tetapi juga orangutan, harimau, babi hutan, landak, berbagai jenis burung dan satwa lainnya.
       Selain itu, pihaknya juga telah menghasilkan sebanyak 600 kilogram kompos yang diolah dari kotoran gajah selama Oktober hingga Desember 2012 sebagai bagian dari program restorasi koridor konektivitas dan lahan terdegradasi di Kawasan Ekonomi Leuser (KEL) Blok Karo-Langkat seluas 150 hektar.
       Panut menargetkan sekitar 165 ribu bibit lagi untuk menyelamatkan kawasan tersebut.
       YOSL-OIC juga bekerja sama dengan Tropical Forest Conservation Action (TFCA) terkait pendanaan program-program tersebut.
       Namun, pihaknya mengakui belum adanya bantuan langsung dari pemerintah untuk program restorasi lahan kritis tersebut, bahkan lebih banyak dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, seperti dari Inggris, Australia dan Amerika Serikat.
       Keberlangsungan ekosistem merupakan tanggung jawab kita bersama. Alam memberikan kehidupan bagi manusia. Tetapi apa yang telah manusia berikan untuk alam? Amarah sang datuk hanya salah satu tanda dari alam untuk menyadarkan manusia betapa digdayanya alam. Jangan tunggu hingga alam murka baru percaya.
    ***4***

dikutip juga di laman ini
http://eksposnews.com/view/11/50081/Jangan-Ganggu-Datuk-Leuser.html#.UT7x0666SSo
tapi judulnya diganti


Jelajah Leuser

Gue mau cerita nih hehe. Jadi, beberapa minggu yang lalu gue dikirim ke Medan buat liputan. Sebenernya itu liputan berita khusus dan kerjasama (Kesra) yang biasanya mencakup pendidikan, lingkungan, kesehatan, keagamaan dll. Entah kenapa atau mungkin kekurangan personel, gue yang lagi di desk politik ditariklah sama manager desk kesra buat liputan itu. Pas ditawarin, gue disuruh baca Terms of Reference (TOR) nya dulu. Pas tahu kalau itu liputan lingkungan ke hutan dan bakal ketemu orangutan ya gue gak nolak donk hehe. Meski gue gak tahu nanti bakal gimana di sana, bakal masuk hutan atau nginep dimana, gue udah antusias aja bakal liputan pertama kalinya ke luar kota. Tapi, deg-degan juga sih karena ini pertama kalinya gue naik pesawat.

"Kamu belum pernah naik pesawat?"
"Belom, Pak,"
"Waduuh, saya juga sih pertama kali naik pesawat itu pas jadi wartawan,"
*krik

Tapi, tetep aja sehari sebelumnya gue masih liputan sampe malem pulak. Belom lagi charger laptop yang sempet ilang dan gue kudu hujan-hujanan beli jaket parasut atas saran manager takut kehujanan di hutan. Kurang dari tiga jam tidur, dini hari pukul 3 gue harus bangun lagi, mandi dan nyiapin semuanya. taksi udah dateng, gue meluncur ke bandara. Di taksi gue gak ada berenti-berentinya sendawa, yaudah gue minum tolak angin dah. Yaah belom berangkat udah mabok.

Pas nyampe kawasan Bandara Soekarno Hatta, gue udah seneng aja gitu ngeliat deretan pesawat. *Norak. To be honest, I've been dreaming to get on the airplane. Jadi inget drama korea "Good Luck" ah andai pilotnya itu Shinkai, gapapa deh ke Timbuktu juga. Gue tunggu di depan restoran cepat saji karena meeting point-nya di situ. Lagi nunggu, di depan gue ada personel band kesukaan si Milta haha lengkap pulak. Terus dimintain foto gitu si vokalisnya sama pasangan yang mau pergi bulan madu.

Pas dateng orang yang dari Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Iwan namanya, deg-degan gue agak berkurang, at least ada yang mandu nanti ke pengecekan, boarding pass dan tralala gue gak ngerti. Gak lama, pewarta yang dari Republika muncul, namanya Ratna, tapi suka dipanggil "Nap" karena kode dari kantornya begitu. Kenalan singkat dan langsung cabut ngikutin si Mas Iwan.

Finally, I get on this aeroplane *jogetdora. Sayangnya, gue duduk di kursi tengah, pengen banget deh tukeran sama bapak-bapak yang di pinggir jendela itu. Sebenernya sih gue biasa aja gak takut-takut amat pas take off, cuma bisingnya itu yaudah deh gue emut tuh permen banyak-banyak.

Gerimis menyambut gue di Bandara Polinia Medan. Dari sana gue ke basecamp Yayasan Orangutan Sumatra Lestari sama Orangutan Information Center (YOSL-OIC). Kita kenalan, briefing dan langsung tancap gas ke Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), tepatnya di Desa Halaban, Kabupaten Langkat.

Waktu yang ditempuh sekitar dua jam dari kota Medan. Setelah istirahat makan siang, dan menembus barisan ribuan pohon sawit, sampailah kita di tempat pemukiman paling dalam, artinya kita harus jalan kaki mendaki, menembus hutan sampai pondok yang letaknya tinggi di atas sana.

Oke siap! Gue gitu si Bolang (Bocah Ilang). Tapi, kayaknya ada yang gak beres. Coba cek tas, eh bener aja cokelat gue meleleh luber kena handphone, power bank, sisir, semua deh. "Di Medan cokelat makannya hadnphone ya hahaha", kata si Mbak Dinda, wartawan Kompas biro Medan. Yaudah, perjalanan terus berlanjut hah heh hoh...up..up...up... di tengah jalan Bang Ari, Koordinator Tim Restorasi Kawasan itu bilang "Ini tempat gajah lewat, kita lagi naik kereta (sepeda motor), ada segerombolan gajah lewat sini" Ebuset dan itu gajahnya liar kalau ketahuan, lo bisa diseruduk.

*bocah ilang
sawit semua ye kan? Tetiba teringat #sawityowit kuis di Twitter pas sahur.


*jelajah wartawan lingkungan
Sampailah akhirnya ke tempat pemondokan itu. Bukan Mandi keringat lagi, tapi banjiir! Kita disuguhi bubur kacang ijo+ketan item untuk mengembalikan energi yang tadi kekuras sama penjaga pondok di sana. Gak lama ada Burung Rangkong terbang melintas. Kalau kata acara yang di trans tv itu sih "Yeay! We're lucky today"
*bubur kacang ijo Leuser

Langit udah gelap aja, kita beranjak ke lantai dua pondok buat beristirahat. Imajinasi gue mulai liar. Kita cewek cuma bertiga di sini di antara belasan para pria. Benar-benar di sarang penyamun. Gue ngebayangin kalo mereka ternyata jahat dan mau ngapa-ngapain kita. Mau blingsatan kayak apa juga percuma  di tengah hutan belantara gini, mau lewat mana gelap gulita yang ada diseruduk gajah.
 

*langit mendung menyemilmuti kawasan konservasi

Tetiba awan imajinasi gue pecah gegara teriakan si Kak Dinda yang kaget ada kalajengking item segede gaban berjarak kurang dari lima senti dari kaki gue. Ini baru blingsatan. Gue dan Mbak Ratna langsung keluar dan bilang ke para pria itu untuk menangani kalajengking racun itu. Entah apa yang dilakukan mereka yang jelas si scorpio itu gak dibunuh.

 *black scorpio

Namanya juga di hutan ya kamar mandinya seadanya. Cuma ditutup terpal gitu aja, makanya gue mengurungkan niat untuk mandi. Ditambah kejadian kalakengking itu, takut-takut udah nyampe puser aja.

Malamnya diisi dengan presentasi dan diskusi seputar konservasi, mulai dari perjuangan mereka buat nebangin pohon-pohon sawit ilegal itu, meredam konflik dengan gajah hingga sempat didatangi sebritis kakak beradik Cathie Sharon sama Julie Estelle.

Sebelum presentasi, kami sempat makan malam dengan menu yang bahannya diambil dari dalam hutan, yakni genjer dan jengkol sodara sodaraaahh huhh haahh. Udah mah sulit sikat gigi ditambah menunya digdaya gitu. hahah tapi enak sih walaupun agak pait, apa aja enak kalo dalem hutan. 
*pondok tempat kita bermalam

Malam makin larut, kita beranjak menuju peraduan sembari mulut komat-kamit kalajengking selanjutnya tidak akan datang karena mereka gak jamin kalo kalajengking bakal nyamperin lagi.

Pagi harinya diisi dengan sikat gigi dari jendela lantai dua. Entah kenapa kita melakukan itu. Kemudian sarapan nasi goreng pedas dan tempe goreng.

*lantai dua pondok. Narsis? bae weh. 

Kami lanjut menanam pohon. Iya donk wartawan juga turut melestarikan Leuser."Setiap tamu yang datang ke sini wajib tanam, karena nanti akan kami tagih untuk kemari lagi melihat tanamannya sudah setinggi apa?" kata Manajer YOSL-OIC Bang Rizal.


Usai menanam, kita pergi melihat pondok tempat nursery center yang dapurnya pernah diseruduk gajah. Di sana ternyata pohonnya udah pada tinggi-tinggi, bahkan kata si Mas Ari koordinator di sana, tumbuhannya beretiolasi, yaitu berlomba-lomba siapa paling cepet tinggi buat ngedapetin sinar matahari buat proses fotosintesis.

Setelah itu, kita bertolak ke Desa Sukarakyat buat ngeliat masyarakat yang sudah membudidayakan tanaman cokelat yang nantinya bakal menopang ekonomi mereka dan mengkonservasi lahan juga. Berkat sekolah Lapang (SL), sudah ribuan bibi yang ditumbuhkan dan mereka juga sekarang jadi tahu gimana caranya merawat tanaman dan mengusir hama.

Sekarang juga mereka udah gak pake pestisida kimia, tapi pake pestisida nabati, dari tumbuh-tumbuhan juga. Mereka juga berhasil menghasilkan 600 kilogram kompos dari kotoran gajah selama tiga bulan dari Oktober-Desember 2012.

*tempat pembibitan cokelat


 *kediaman Pak Suparlan, Ketua Regu Sekolah Rakyat Desa Sukarakyat

 *rumah warga Desa Sukarakyat di kawasan PT. London Sumatera

*sapi milik warga yang gak dikandangin tapi dikepar di perkebunan sawit yowit. eh

Itu yah padahal masih Kabupaten Langkat tapi ajegile dari Desa Halaban tadi makan waktu tempuh sekitar lima jam dan sempet nembus Kota Binjai!

Dimana-mana kelapa sawit dari ujung ke ujung, gak ada lagi. Di sana juga kita sempet makan duren dulu di Ucok Duren. Kalau kata gue sih rasa duren itu adalah semanis-manisnya dosa. Kalau duren yang dagingnya tebel sih banyak, tapi kalau yang rasanya kayak gitu sih gak ada lagi, bahkan lebih keren dari Duran Duran. Ah mulai ngaco gue. haha




*Duren yang ngalahin Duran Duran

Akhirnya gue, mbak Ratna, Mas Iwan sama bang Fery sampe juga di hotel, puas-puasin deh tuh mandi soalnya udah dua hari gak mandi. Leyeh-leyeh time! Tapi harus segera tidur soalnya besok pukul 06:30 harus sudah di bandara lagi bertolak ke Ibukota.

Rasanya masih pengen tiduran Tuhan, pegel banget tapi harus mandi dan sarapan secepatnya. Nyampe di bandara, gue juga nyempetin beli oleh-oleh hehehe biar gak kosong-kosong amat nih tangan eh gak taunya kebanyakan hahaha.

Dan jreng jeng! Ke Jakarta berarti kembali kerja dan kembali liputan politik bergelut dengan parpol, persiapan pemilu, caleg aarrgghh...so hectic!

Alhamdulillah gue dikasih kesempatan liputan ke luar kota dan liputannya lingkungan pulak, jadi bisa refresh aja. Karena ini bukan semata-mata jalan-jalan, gue juga kudu nulis berita dan tulisan. nanti gue share yah..Ah.. gak sabar buat liputan kesra lainnya mudah-mudahan bisa ke Lamalera, desa seribu matahari :D


 Manajer tetiba bbm gue setelah ngeliat foto profil yang gue pasang, "Ju, kamu hepi banget kayaknya?" "Haha iya donk, Pak!"

P.S: Selang sehari pulang dari Medan langsung ditinggal Jirapah yang berangkat liputan ikut Menpora ke Pontianak.

Anyway, #sawityowit

Sunday 3 March 2013

When Anyway?



Yang kiri dan kanan saya sudah pada melepas masa lajangnya. Yang tengah kapan nih?

P.S: Mata gue belo juga yak.


The Walk We Had



We'll run away together
We'll spend some time forever
We'll never feel bad anymore


Sorry

 
 
 Sorry, for all the tantrum thrown...

In Contrast

Tepat pukul sembilan tadi saya tiba di kantor, meaning that saya telat dua jam. Minggu begini? Iya hari ini saya piket. Sudah berapa malam saya habiskan dengan tidur tak berkualitas. Pulang liputan langsung terkapar di tempat tidur, barang dua jam bangun kembali untuk sholat dan mau tidur lagi tanggung takut kesiangan. Tapi, untuk pagi ini saya gak kuat. Alhasil telat. Alhamdulillah, gak kena semprot redaktur.

Alhamdulillah juga saya bisa melewati ujian akhir les Sabtu malam kemarin. Meski, agak menyesal ketika melihat nilai yang menurut saya pas-pasan, teman sekelas banyak yang mendapat nilai melesat jauh dari saya. Seharusnya bisa lebih baik dari itu. Tapi, disyukuri saja sudah lulus.

Akhir-akhir ini, pola hidup saya agak kacau. Saya udah gak peduli tidur saya cukup atau enggak, makan saya sehat apa enggak, udah gak kepikiran buat olahraga. Padahal, dulu kalau ada yang salah dikit saja sama ketiga itu, saya pusing sendiri. Yes, I was Miss Management, but it was. Sekarang saya dituntut menjadi orang yang spontan yang jauh banget dari karakter saya yang biasanya menyusun jadwal dan memastikan semuanya terencana dengan baik. Job things. Dituntut untuk siap siaga kapan pun juga. Lagi santai, tiba-tiba suruh liputan yang matter nya buta pun saya harus siap.

Dan jeleknya saya mungkin belum terlalu terbiasa dengan ritme kerja seperti itu, jadilah begini kesehatan terganggu, pikiran dan emosi yang kurang stabil, hingga berdampak pada orang-orang yang tidak seharusnya mendapatkan efek dari itu semua. Ada hikmah di balik itu, saya harus lebih berusaha mengendalikan emosi ini, membuat imbang. Tapi, kadang kepingin tahu juga apa rata-rata wartawan pemula mengalami hal sama juga gak ya dengan saya? Apa cuma saya doank?

Memang cuma bersyukur yang bisa mengembalikan ketenangan yang tadinya menguap entah kemana. Kalau diingat-ingat, ini memang kepingin saya. Tuhan mengabulkan doa saya, yang saya sendiri tidak sadar ketika memintanya.

Dulu pernah menuliskan ini di status Facebook,

"Andai kerjaan gue cuma ngopi, nulis dan travelling"

and Voila

atau yang lebih Islami dikit "Kun Fayakun" jadilah seperti ini hehehe. Alhamdulillah.

P.S: Kalau yang "ngopi" itu udah enggak lagi. Gue sama kopi itu kayak gue sama batik. Mengagumi tapi tidak terlalu menikmati. Yah intinya gue suka kopi tapi gak terlalu suka minum, udah jarang juga ketika tahu dampaknya. Gue suka batik tapi gak terlalu suka mengenakannya. Padahal tanggal lahir gue sama kayak Hari Batik. hahah apa hubungannya.