Sunday 21 August 2011

Fine Pines.


Kemarin saya dan Milta pergi ke tempat dimana pinus, kuda, sapi, bunga matahari, rumput hijau menyatu dengan harmoni udara sore yang begitu menyejukkan. I think you can guess where we are if you read my previous posting. Driven by the desire of our hunger of nature, freshness, and folk, we decided to go there. What? Folk? Yeah, we think that nature and folk have the close-relation. They are strongly entwined within. 

Sampai di sana, Milta sangat antusias. Senang melihatnya. Ternyata ada juga orang selain saya yang senang luar biasa hanya dengan melihat pinus, rumput, cemara, gunung, dan berbagai hewan seperti kuda dan sapi. Sebenarnya, kita merencanakan dengan sempurna dengan membawa gitar, notebook, dan pastinya kamera. Hanya, notebook dan kamera sedang berhalangan hadir, jadi hanya gitar saja yang ikut serta. Baru kali ini saya mengajak gitar klasik kesayangan dan satu- satunya milik saya jalan- jalan. Pasti kamu sangat senang :D

Di sana saya langsung mengeluarkan gitar saya dan memainkannya. Tidak banyak yang saya mainkan, tetapi lagu Matt Pond PA sempat saya mainkan walaupun tidak secara keseluruhan, Halloween, Starting, In the Aeroplane over the Sea. Kita duduk di atas batang pohon kering yang besar dengan beberapa kuda besar- besar di belakang, sapi- sapi dan bunga matahari di depan sana, di kiri berjajar beberapa kursi santai dan tempat dimana musik country mengalun, di sebelah kanan gunung membiru menjulang tinggi, dan pinus, cemara, dan rumput hijau sejauh mata memandang. Mau apa coba?

Kita berjalan melewati barisan cemara yang disusun rapi seperti altar pernikahan, sampai Milta berujar, “Ini cocok banget banget buat resepsi pernikahan, rasanya nanti pengen nikah disini”. Kita duduk di atas rumput hijau. Saya tetap memetikan senar gitar, dan Milta tak  ada habis- habisnya meneriakkan kekaguman atas indahnya tempat tersebut. Seperti biasa membicarkan tentang musik .Ini dan itu dan banyak sekali. Folk, Indie, Justin Vernon, Matt Pond PA, Remedy, Iga Massardi, blog, Efek Rumah Kaca, traveling, Cholil Machmud, buku, Bon Iver, Guitar, Fleet Foxes. Beberapa subtopik tersebut memang tidak pernah terlepas dari obarolan kita. Yeah, we love music, we love our own music and we love indie guys, handsome indie guys, handsome hidden indie guys

Tiba- tiba ada kuda hitam yang menghampiri dengan ringkikannya. Saya pun tergoda untuk menyentuh dan mengelusnya. I love animals, except the caterpillars BIG NO WAY for those cursed creatures. Saya memulai mengelus hidungnya karena katanya kuda senang dielus hidungnya, asal jangan kena liurnya saja, tidak berbahaya sih tapi amit- amit saya tidak pernah merelakan tangan saya terkena liur binatang apapun. Menurut pengalaman saya yang pernah ngelus kuda juga (halah), kalau kita sudah mengelus hidungnya mereka akan ingin dielus bagian tubuhnya yang lain. Intinya mah nagih keenakan dielus.Tuh kan punggungnya pengen dielus juga.

Kita meneruskan berjalan menuju kebun bunga matahari dan kandang sapi. Sayang, hari sudah gelap jadi bunga matahari sudah merunduk malu. Dan saya pun bertemu kembali dengan sapi yang waktu itu saya kasih rumput. Hi, how are you? Milta yang tadinya ragu untuk memberi mereka rumput juga akhirnya berani. Dan pada akhirnya sapi itu lebih memilih rumput yang Milta sodorkan, awas kamu ya sapi! Haha

Adzan maghrib sudah berkumandang, waktunya buka puasa. Sebenarnya diantara saya dan Milta sedang berhalangan puasa tapi kita tidak membicarakannya haha. Kemudian kita pun duduk di ayunan berbentuk lingkaran yang terdapat bangku berhadapan. Saya menawarkan pudding yang saya buat. Walalupun bentuknya kacau, tapi untungnya Milta suka. Hehe. Lain kali kamu harus membuatkan saya spaghetti, Milta. Yes, we both do love cooking. Dan Milta mengeluarkan ide gila untuk menawari Remedy, Iga, atau Cholil masakan kita. Gila kamu Milta. Haha.

“Kita di sini aja Chuii, sampai nunggu diusir!”, ajak Milta. Duduk- duduk di kursi kayu unik sambil meminum susu moka, sambil melihat gabungan pemandangan padang rumput, pinus, dan gunung di malam hari yang gelap. Mereka sedang pamer siluet. Memesona. Pergilah kita ke cowboy shop yang tidak jauh dari situ, barang- barang yang didagangkan pun memang terkonsep dan unik. Topi, vest, jacket cowboy, sampai flannel coat yang menggoda Milta untuk membelinya. 

Para pegawai yang mulai membereskan sepeda- sepeda yang terjajar kembali ke tempat penyimpanan yang biasanya untuk disewakkan. Itu sudah cukup memberi tahu kita untuk pulang. Kami menyusuri jalanan sekitar Lembang sambil menggendong gitar dan mampir sebentar untuk menikmati ketan bakar dan segelas kopi. Kita berasa pendatang yang melawat dari pulau sebrang. Obrolan pun berlanjut, mulai dari musik, teman- teman, politik, sampai surga dan neraka.  Awalnya hanya sebentar, malah tidak terasa sampai beberapa jam kita disana, duduk diatas tikar karung yang disediakan oleh Ibu penjualnya. Baik sekali. Beberapa kali kita ditanya, “Dari mana neng?” “Pulangnya kemana neng?”. Dan ketika kita menjawab kita menaiki angkot untuk pergi dan pulang, Ibu- ibu dan Bapak- bapak sedikit terkejut, mungkin kuatir.Tenang saja Bu, Pak, kita pemberani kok hehe. We are wild girls

Di angkot kita pun melanjutkan obrolan kita. Apa saja. Sampai di kostan saya juga begitu, sepertinya obrolan kita memang tidak akan pernah habis. Sampai akhirnya kita balik lagi ke kostan untuk mengambil kembali pudding yang tertinggal ketika mengantar Milta ke gang depan. 

The camera was not with us but all of those miraculous things are strongly captured in our mind. Overall, I always love our conversations. Keep our way like this, Milta. Nature is always real, humans are fake.

P.S: Sorry for not waiting you ‘till you got on the angkot.
       “The pines control the wild sarcasm” Closer- Matt Pond PA
       Next destination?

0 comments:

Post a Comment