Thursday 30 September 2010

Pendiam

Gue baru aja pulang dari bermain- main bersama Ayas, Ninik, dan Agung di Gramedia. Awalnya cuma Ninik dan gue tapi mereka akhirnya ikut dan nyusul. Niatnya sih cuma sebentar, tapi akhirnya kita menghabiskan waktu berjam- jam untuk mengotak- atik buku yang kebanyakan membahas tentang pastry, minuman, dan makanan penutup. Ayas sih sibuk dengan kebaya dan riasan, maklum dia kan bentar lagi sidang dan wisuda. Hmm…iri setengah mati. Kita juga nemenin Agung dulu yang makan malem di lesehan Ayam Goreng Merdeka deket situ. Kostan Redha pun menjadi destinasi selanjutnya dan secara tidak sengaja permainan kartu cangkulan pun jadi ‘objek’ kita berikutnya. Kita pun main menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam. Gak bisa nunggu lebih larut lagi, kita pun pulang kecuali Ayas.  Gue dianter Agung sampe gerbang, mungkin dia gak tega ngeliat muka gue yang sangat bantal dan beler padahal emang sejak dalam kandungan muka gue begini. Entah ini anugerah atau kutukan? Anugerah gue rasa.
Intensitas kantuk gue gak sehebat kemaren yang sampe ketiduran di angkot seusai ngajar. Walaupun begitu, gue niatkan untuk tidur karena kata buku kesehatan yang gue pernah baca, gak baik tidur lebih dari jam 11 malam karena proses penyerapan protein terjadi antara pukul 23.00- 1.00. Entah fakta atau asumsi. Makanya jangan suka begadang, tar tubunya pendek lho kayak saya..hehe. Suka begini nih, entah apa yang ada di pikiran gue yang jelas gue pengen banget mengerjakan sesuatu. Yak, menulis blog. Ada yang menggeliat di pikiran gue dan memaksa untuk dikeluarkan (kok kayak pup ya hehe).
Biasanya kalo udah malem menuju dini hari, pikiran gue agak sedikit meluas dan bisa dibilang dalam (baca: lempeng). Memikirkan tentang masa depan atau apapun itu yang ada di kehidupan gue sehari- hari yang tidak pernah terpikir ketika gue melakukan rutinitas. Banyak banget hal yang harus gue lakukan dan kerjakan. Apapun itu dan memaksa otak gue untuk berpikir jauh lebih dalam dan kemudian anda tertidur (Lho, itu kata- kata Romi Rafael, sambel)!
Keingetan salah satu temen sekelas yang dulunya deket banget sama gue bilang lewat forum chatdi facebook. “Cui, kok sekarang sering diem.” Gue lumayan sontak kaget ngeliat kata- kata itu. Gue tanya balik, “diem? Diem gimana?”. Tidak ada jawaban dari dia. Gue konfirmasi pertanyaan dia dengan “Gak, gak apa- apa kok, beneran!”. Gue jawab begitu karena memang gue gak ngerasa kenapa- kenapa, gak ada yang beda atau aneh dari gue. Ngedenger kayak gitu, gue minta pendapat ke temen gue yang tadi ada di kostan ketika mengerjakan tugas English for Science and Technology. Dia bilang, “Iya sih, lo tuh kayak menutup diri tau gak.”. Gue mikir sejenak, apa bener gue kayak gitu.
Setelah dipikir- pikir gue sadar juga, selama beberapa hari ini gue agak diem sih emang. Bukan kenapa- kenapa tapi gue gak akan ngomong ketika gue gak tau apa yang sedang dibicarakan dan terlalu banyak orang yang membicarakan itu walaupun gue tukang cerita apa aja. Misalnya saja, mereka (entah siapapun itu) sedang membicarakan suatu topik, dan gue jarang gabung dalam membicarakan topik itu, karena menurut gue cerita salah satu dari teman kita sudah cukup mewakili cerita- cerita kita. Toh, kalopun gue cerita, respon yang muncul tidak seheboh ketika dia atau siapapun itu bercerita. Mari kita selanjutnya ganti kata heboh dengan ‘antusias’. Gue gak cerita pun gak apa- apa gak ada efek yang menandakan perbedaan sebelum dan sesudah bercerita. Dengan kata lain, gue cerita dan enggak pun tidak berpengaruh. “Cerita gue gak seru, gak bakalan seru ,tidak seseru ceritanya” kata- kata itu yang tiap kali muncul  setiap kali gue akan membagi cerita. Keparnoan ini pun sepertinya berakumulasi. Itupun berakibat pada respon gue yang tidak seantusias dan mungkin berlebihan dulu. Dan berakibat pula (sepertinya) dengan ke-pendiam-an gue ini.
Soal tampilan gue yang sekarang terlihat lebih diam ini, jujur gue gak terlalu peduli. Mungkin ini yang menyebabkan gue tak acuh. Sekarang silahkan anda mengata- ngatai saya apatis, individualis, idealis, perfeksionis atau apapun itu. Sekalian saja ‘atheis’ kalo begitu. Kita sudah dewasa secara biologis, umur menunjukan angka dua di depan. Tidak cukup hanya memikirkan sepatu lari atau swiss army. Tidak terasa bila menghitung waktu. Karena sebentar lagi saya 21.

0 comments:

Post a Comment